Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Impor Pangan Bebas Tanpa Kuota: Jalan Pintas yang Mengorbankan Petani

5
×

Impor Pangan Bebas Tanpa Kuota: Jalan Pintas yang Mengorbankan Petani

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta – Wacana penghapusan kuota impor pangan yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta pada 8 April 2025 patut menjadi perhatian serius. “Siapa saja boleh impor. Mau impor apa, silakan buka saja,” begitu pernyataan Presiden yang langsung menggema di berbagai ruang diskusi publik.

Meski dimaksudkan untuk membuka pasar dan menghindari monopoli oleh segelintir importir, kebijakan ini justru bisa menjadi jalan pintas yang berisiko tinggi—karena dilakukan tanpa kesiapan struktur produksi nasional dan tanpa perlindungan yang memadai terhadap petani dan peternak lokal.

Di tengah semangat swasembada yang selama ini digaungkan, langkah ini justru seperti mengayunkan palu godam ke fondasi ketahanan pangan kita sendiri.

Menghadapi Tekanan Global, Jangan Lupa Kedaulatan Nasional

Langkah pemerintah ini tampaknya merupakan respons atas tekanan global, terutama dari Amerika Serikat. Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (2025), Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menilai Indonesia masih menerapkan hambatan perdagangan, termasuk kuota dan sistem penugasan impor. Namun, apakah membuka keran impor tanpa batas adalah cara terbaik untuk menjawab tekanan itu?

Ekonom INDEF, Abra PG Talattov, mengingatkan bahwa kebijakan impor pangan tidak bisa dilepaskan dari prinsip kedaulatan. “Kita punya dua undang-undang yang mengatur pangan dan perlindungan petani. Impor hanya bisa dilakukan jika produksi dalam negeri tak mencukupi, dan harus melalui koordinasi antarkementerian,” tegasnya. Dengan kata lain, kebijakan ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi juga konstitusional.

Petani dan Peternak: Di Ambang Kepunahan Pasar

Dalam kondisi saat ini, membuka impor tanpa kuota berarti membiarkan pasar domestik dibanjiri produk asing dengan harga yang sering kali lebih murah karena didukung subsidi di negara asalnya. Dosen IPB University dan Guru Besar Pertanian, Prof. Dwi Andreas Santosa, bahkan menyebut ini sebagai ancaman nyata terhadap petani. “Dalam sepuluh tahun terakhir, impor 12 komoditas utama naik dari 22 juta ton menjadi lebih dari 34 juta ton. Kalau kuota dicabut, angka ini bisa melonjak drastis,” katanya.

Siapa yang paling terdampak? Tentu saja petani dan peternak kecil yang tidak punya daya tawar tinggi. Mereka akan kesulitan menjual hasil panen dengan harga layak dan bisa kehilangan semangat untuk terus bertani. Padahal merekalah ujung tombak dari kemandirian pangan nasional.

Swasembada yang Terancam Menjadi Slogan Kosong

Di sisi lain, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo juga menargetkan swasembada beras, jagung, gula, dan garam. Impor beras bahkan telah dihentikan pada tahun ini. Tetapi dengan membuka kran impor pangan secara bebas, langkah swasembada bisa kehilangan maknanya. Lalu, untuk siapa swasembada ini dicanangkan?

Perlu dicatat, kedaulatan pangan bukan hanya soal mencukupi kebutuhan dari dalam negeri, tetapi juga melindungi produsen lokal dari ketergantungan pasar global. Jika semua komoditas bisa diimpor seenaknya, maka produksi dalam negeri tidak akan pernah berkembang. Ini seperti membangun rumah dari bawah tapi merobohkan atapnya sendiri.

Alternatif yang Lebih Rasional dan Berkeadilan

Alih-alih mencabut kuota impor secara total, pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi selektif terhadap komoditas yang memang belum bisa dipenuhi di dalam negeri, seperti gandum atau jagung pakan. Tapi untuk komoditas yang sedang kita perjuangkan agar mandiri, seperti daging dan susu, impor harus dikendalikan dan diawasi dengan ketat.

Pemerintah juga perlu memperkuat neraca komoditas sebagai alat ukur kebutuhan dan pasokan aktual. Selain itu, penting melibatkan semua pemangku kepentingan—petani, koperasi, asosiasi produsen, dan akademisi—dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai kebijakan pangan hanya ditentukan oleh kepentingan dagang segelintir elite.

Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu

Kita pernah terlalu bergantung pada pangan impor di masa lalu, dan itu menjadi pelajaran pahit. Krisis harga global bisa terjadi sewaktu-waktu, dan negara yang terlalu terbuka tanpa sistem perlindungan akan terdampak paling parah. Kebijakan membuka impor pangan tanpa kuota, jika diterapkan tanpa pengawasan dan strategi yang matang, bukan hanya mencederai cita-cita swasembada, tapi juga bisa meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan pangan.

Sebagai negara agraris, Indonesia harus berpihak pada petaninya. Jangan biarkan mereka kembali menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak berpihak. Sebab dari ladang merekalah kita bertahan, dan dari tangan mereka pulalah masa depan pangan bangsa ini digantungkan.(emha)

 

Example 120x600