ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah upaya bangsa menata transisi pemerintahan pasca Pemilu 2024, ruang publik kembali gaduh. Sekelompok purnawirawan TNI menyerukan pemecatan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, dengan alasan dugaan pelanggaran administratif dalam proses pencalonan. Tuntutan ini tidak hanya menimbulkan kontroversi, tapi juga memunculkan pertanyaan besar: benarkah ini soal hukum, atau ada agenda politik tersembunyi?
Tuntutan yang Sarat Muatan Politik
Dalih pelanggaran administratif yang digunakan terasa lebih politis ketimbang yuridis. Pasal 7A UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan bila terbukti melakukan pengkhianatan, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. Tidak ada pelanggaran administratif pencalonan yang masuk dalam kategori itu.
Lebih jauh lagi, bila benar proses pencalonan Gibran dianggap cacat, maka secara logika hukum, pasangan Prabowo-Gibran sebagai satu paket juga dianggap tidak sah. Ini berarti mempertanyakan sahnya Presiden terpilih Prabowo Subianto — sesuatu yang sudah diputuskan final oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Maka, tuntutan purnawirawan ini berpotensi tidak hanya mengguncang posisi Wapres, tetapi juga keseluruhan legitimasi hasil Pemilu 2024.
TNI dan Netralitas Politik
Secara institusional, TNI telah lama menegaskan sikap netral dalam politik praktis. Namun, para purnawirawan, dengan jaringan dan pengaruhnya, tetap memiliki kekuatan simbolik. Ketika mereka mengajukan tuntutan seperti ini, publik tentu bertanya-tanya: Apakah ini murni kegelisahan moral, atau ada manuver politik terselubung?
Keterlibatan tokoh-tokoh besar seperti Try Sutrisno, Fachrul Razi, hingga Slamet Soebijanto memperberat muatan tuntutan tersebut. Tapi sekaligus, kehadiran mereka dalam pusaran ini juga berpotensi merusak kepercayaan terhadap netralitas militer dan merusak suasana ketenangan politik yang dibutuhkan saat ini.
Sikap Prabowo: Menahan Diri di Tengah Tekanan
Presiden terpilih Prabowo Subianto sendiri, lewat pernyataan Penasihat Khususnya, Wiranto, menunjukkan sikap berhati-hati. Ia menghormati aspirasi sesama purnawirawan, namun menegaskan bahwa ia tak bisa sembarangan merespons tuntutan di luar wewenangnya. Sebagai kepala negara dalam sistem trias politika, Prabowo menegaskan pentingnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ini langkah yang tepat. Karena di tengah situasi politik yang rapuh, kegaduhan baru hanya akan memperburuk kondisi dan menghambat upaya pemerintah baru untuk fokus menghadapi tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, serta krisis global.
Demokrasi Membutuhkan Kedewasaan
Dalam negara demokratis, kritik tentu sah-sah saja. Namun, kritik harus disampaikan secara konstruktif, bukan dengan cara yang malah mendelegitimasi seluruh sistem hanya karena ketidakpuasan terhadap hasil.
Transisi pemerintahan ini mestinya menjadi momen memperkuat demokrasi, bukan kembali membuka luka lama. Energi bangsa lebih baik diarahkan untuk membangun masa depan — memperbaiki kebijakan, mempererat persatuan, dan mengatasi tantangan nyata — ketimbang terseret dalam polemik kekuasaan yang tak produktif.
Seperti kata Aristoteles, “Orang yang sibuk mencari kesalahan orang lain akan kehilangan kesempatan memperbaiki dirinya sendiri.” Sudah saatnya bangsa ini berhenti memperpanjang kegaduhan, dan mulai membangun harapan.(acank)