ppmindonesiata .com. Jakarta– Di tengah masa transisi menuju pemerintahan baru, satu isu lama kembali menyeruak: tuduhan tentang keabsahan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Sebuah cerita lama yang seharusnya telah usai, kini kembali dihidupkan, seolah-olah ada skandal besar yang disembunyikan rapat-rapat.
Padahal, Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai institusi tempat Jokowi menimba ilmu, telah berkali-kali memberikan klarifikasi. Tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsinya semua telah dipaparkan secara terbuka. Bahkan, Jokowi sendiri pernah memperlihatkan tumpukan map berisi ijazah dari SD hingga perguruan tinggi kepada publik.
Namun, di era banjir informasi seperti sekarang, logika hukum dan etika sering kali tak berjalan seiring dengan logika politik. Klarifikasi sejelas apapun tidak mampu menyaingi kekuatan provokasi yang disebar lewat media sosial dan kanal-kanal digital. Tuduhan tanpa bukti kokoh tetap saja bergulir, mengaburkan batas antara kritik dan fitnah.
Pengamat hukum dan politik, Pieter C. Zulkifli, membaca dinamika ini dengan nada prihatin. Baginya, isu ini bukan lagi soal benar atau tidaknya sebuah dokumen akademik, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memahami makna demokrasi dan etika beroposisi.
Lebih jauh lagi, Pieter mengingatkan, kampanye narasi semacam ini bisa berujung pada sesuatu yang berbahaya: melemahkan legitimasi pemerintahan baru yang belum lama dilantik. Apa jadinya jika stabilitas yang susah payah dibangun, harus runtuh hanya karena fitnah yang dipelihara atas nama “keterbukaan”?
Dalam hukum, dikenal adagium actori incumbit probatio—yang menuduh, wajib membuktikan. Namun dalam realitas politik kita hari ini, seringkali yang terjadi sebaliknya: tuduhan dilempar tanpa beban, sementara beban pembuktian dipaksakan kepada yang dituduh. Ini bukan hanya melanggar prinsip hukum, tapi juga merusak akal sehat publik.
Krisis Etika di Tengah Bising Demokrasi
Demokrasi tentu memberi ruang untuk kritik, bahkan mewajibkannya. Tapi demokrasi juga menuntut etika. Beda antara kritik yang sah dan fitnah yang murahan terletak pada itikad, ketelitian, dan rasa hormat terhadap kebenaran.
Devi Darmawan, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai bahwa polemik ijazah ini sebetulnya telah kehilangan relevansi. Jokowi, menurutnya, telah sah terpilih dalam dua periode pemilu yang terbuka, dengan syarat administratif yang ketat. Bahkan, Devi menyebut, kalaupun seandainya ada kekeliruan soal ijazah, itu tidak serta-merta mendelegitimasi keterpilihannya—sebab banyak persyaratan lain yang lebih substansial dan telah dipenuhi.
Tetapi seperti kata Devi, persoalan ini tidak melulu soal hukum atau administrasi. Ini tentang ketidakpuasan, tentang rasa kecewa sebagian pihak terhadap sosok Jokowi yang masih memiliki pengaruh kuat di pemerintahan Prabowo-Gibran. Ketidakpuasan itu kini mengambil bentuk: menyerang pribadi, bukan gagasan.
Bahaya yang Tak Kasat Mata
Mungkin bagi sebagian orang, isu ini tampak sepele. Hanya sekadar polemik kecil di dunia maya. Namun dampaknya tidak bisa diremehkan. Kepercayaan terhadap institusi pendidikan tergerus. Iklim politik nasional dikotori aroma ketidakpastian. Reputasi Indonesia di mata investor asing pun bisa tercoreng.
Investor, kita tahu, sangat sensitif terhadap stabilitas politik dan kepastian hukum. Ketika narasi fitnah didiamkan dan dibiarkan tumbuh, yang dirugikan bukan hanya satu atau dua orang—tetapi seluruh bangsa.
Menjaga Demokrasi dari Diri Kita Sendiri
Pemerintah tidak boleh terus-menerus permisif. Demokrasi memang membolehkan perbedaan pendapat, tetapi bukan kebebasan tanpa batas untuk menyebar fitnah. Ketegasan hukum bukanlah bentuk anti-demokrasi; ia justru pelindung nalar publik.
Tim kuasa hukum Jokowi sudah memberi sinyal akan mengambil langkah hukum jika fitnah ini terus bergulir. Dan itu langkah yang perlu, bukan untuk membungkam kritik, melainkan untuk menjaga marwah demokrasi agar tidak terjerumus menjadi pesta kebohongan.
Saatnya Politik Kita Naik Kelas
Bangsa ini tidak kekurangan masalah nyata: kemiskinan, pendidikan, perubahan iklim, ketimpangan sosial. Namun energi politik kita terlalu sering dihabiskan untuk perkara remeh-temeh, untuk membangun narasi busuk yang menguntungkan kelompok kecil dengan agenda sempit.
Sudah saatnya kita mengakhiri drama politik dangkal ini. Demokrasi Indonesia harus dibangun di atas dialektika gagasan, bukan di atas puing-puing fitnah. Jika tidak sekarang, lalu kapan?
Politik sejatinya adalah medan pertarungan ide, bukan serangan personal. Kalau kita ingin demokrasi ini bertahan dan tumbuh, kita harus mulai memuliakan kebenaran, bukan membiarkannya terkubur di bawah derasnya kebohongan.(acank)