Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Risiko Tersembunyi di Balik Ambisi Besar: Pembiayaan Koperasi Merah Putih dan Beban Bank BUMN

99
×

Risiko Tersembunyi di Balik Ambisi Besar: Pembiayaan Koperasi Merah Putih dan Beban Bank BUMN

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta-Dalam semangat membangun ekonomi dari pinggiran, pemerintah menggulirkan program ambisius bertajuk Koperasi Merah Putih. Program ini tak sekadar menawarkan koperasi sebagai unit usaha biasa, tetapi diposisikan sebagai motor pembangunan desa, pusat layanan sembako murah, penyedia pinjaman mikro, distribusi logistik, dan penguatan rantai pasok pertanian hingga perikanan. Targetnya luar biasa besar—80.000 koperasi tersebar di seluruh Indonesia.

Namun, di balik retorika besar dan semangat transformasi ini, terdapat risiko tersembunyi yang mengancam bukan hanya keberhasilan program, tetapi juga kesehatan sistem keuangan negara. Beban pembiayaan yang dibebankan kepada bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, dan Mandiri menjadi sorotan utama. Apakah semangat pembangunan ini justru akan menjerumuskan bank negara dalam jebakan utang tak tertagih?

Kredit Masif, Risiko Masif

Setiap koperasi dikabarkan akan menerima pembiayaan awal Rp2 hingga Rp5 miliar. Jika dikalikan dengan target 80.000 koperasi, maka total kebutuhan dana bisa mencapai Rp160 triliun—angka fantastis yang hampir menyamai setengah dari total anggaran pendidikan nasional. Sumber pembiayaan utama: bank-bank milik negara.

Masalahnya, banyak dari koperasi ini akan dibentuk dari nol, tanpa rekam jejak usaha, tanpa sistem manajemen yang matang, dan di wilayah dengan SDM terbatas. Dalam konteks ini, penyaluran kredit besar-besaran justru menyimpan potensi kredit macet (non-performing loan) yang sangat tinggi. Jika ini terjadi, bank BUMN akan dipaksa melakukan pencadangan besar-besaran, yang bisa memangkas keuntungan bahkan menggerus modal inti.

Dana Desa Jadi Tali Penyelamat?

Pemerintah mengklaim bahwa cicilan koperasi akan dibayar melalui dana desa selama 10–15 tahun. Namun ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah dana desa—yang seharusnya digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar masyarakat seperti infrastruktur lokal, pendidikan, dan kesehatan—akan dialihkan untuk menyelamatkan skema kredit koperasi yang belum tentu berhasil?

Jika dana desa berubah fungsi menjadi jaminan tak resmi atas pinjaman koperasi, maka program ini tidak lagi memberdayakan desa, melainkan justru membebani mereka dengan kewajiban keuangan jangka panjang yang belum tentu menghasilkan manfaat setara.

Bank Negara Digerakkan, Tapi Siapa yang Mengendalikan?

Sebagai entitas bisnis, bank memiliki kewajiban untuk menjaga prinsip kehati-hatian. Namun ketika bank BUMN digerakkan melalui tekanan politik atau ambisi program pemerintah, maka batas antara manajemen risiko dan perintah kekuasaan bisa kabur. Risiko sistemik tak lagi menjadi asumsi, melainkan bahaya nyata.

Bank-bank tersebut bukan sekadar “kantong uang” pemerintah, tetapi penopang stabilitas ekonomi nasional. Jika mereka dibiarkan menyalurkan pembiayaan dalam jumlah besar kepada proyek tanpa kelayakan usaha yang memadai, maka kita sedang menggali lubang krisis perbankan masa depan.

Keberhasilan Butuh Fondasi, Bukan Sekadar Dana

Koperasi Merah Putih bisa menjadi alat perubahan jika dibarengi dengan penguatan kapasitas kelembagaan, pendampingan, pelatihan manajerial, dan sistem audit yang transparan. Sayangnya, pendekatan yang terlalu teknokratis dan top-down saat ini belum memperlihatkan kesiapan institusional untuk mengelola koperasi dalam skala masif.

Tanpa pondasi kelembagaan yang kuat, maka suntikan dana hanya akan menjadi bahan bakar kebocoran—baik karena ketidaksiapan pengelola maupun karena praktik koruptif yang kerap menyertai program masif.

Antara Ambisi dan Kenyataan

Kita semua ingin melihat desa-desa bangkit, ekonomi lokal tumbuh, dan koperasi menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Tetapi keberhasilan tidak bisa dibangun di atas utang besar tanpa mitigasi risiko yang matang. Bank BUMN bukan alat politik, dan dana desa bukan jaminan diam-diam atas kredit yang belum teruji.

Jika pemerintah serius ingin menjadikan koperasi sebagai agen perubahan, maka pendekatannya harus berubah: dari instruksi politik ke pembangunan institusi. Dari kucuran dana ke pembangunan kapasitas. Dari ambisi besar ke manajemen risiko yang bijak. Tanpa itu, kita sedang menuju ke jurang risiko sistemik yang disamarkan sebagai program pro-rakyat. (acank-

Example 120x600