ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam perjalanan eksistensial manusia, hasrat akan kebahagiaan abadi selalu menjadi pusat pencarian. Al-Quran, kitab petunjuk yang berbicara kepada nurani dan akal manusia, menggambarkan surga dengan aneka metafora keindahan: taman-taman hijau, sungai-sungai mengalir, kenikmatan tak terputus. Tetapi, di balik semua itu, terdapat pesan yang lebih dalam: bahwa hakikat surga bukanlah materi, melainkan keadaan ruhani.
Manusia sebagai makhluk yang terikat pada ruang dan waktu, kerap membutuhkan simbol-simbol duniawi untuk memahami realitas yang melampaui dunia ini.
Karena itu, gambaran tentang buah-buahan, sungai susu, dan istana-istana bukan tujuan itu sendiri, melainkan bahasa perumpamaan, tanda bagi sesuatu yang tak terlukiskan: kebahagiaan ruhani yang sempurna.
Dalam logika keberadaan, segala yang bersifat duniawi adalah fana, terbatas, dan rentan terhadap perubahan. Sedangkan surga, sebagaimana diisyaratkan Al-Quran, adalah tempat di mana kefanaan tidak lagi berkuasa.
Ia adalah negeri kekal (dar al-khulud), tempat di mana jiwa manusia menemukan makna sejatinya. Dalam surga, manusia tidak lagi diperbudak oleh keinginan, ketakutan, atau kesedihan. Ia bebas. Bebas dalam makna yang paling murni — bebas dari segala keterasingan dari kebenaran.
Hakikat kebahagiaan bukanlah kelimpahan benda, melainkan penyatuan jiwa dengan asalnya. Surga, dalam dimensi terdalamnya, adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya — fitrah yang bersumber dari Allah dan merindukan perjumpaan dengan-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman:
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ ٢٨فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai” (QS Al-Fajr 89:27–28).
Dalam pandangan ini, gambaran duniawi tentang surga berfungsi sebagai jembatan antara keterbatasan persepsi manusia dan realitas ruhani yang melampaui bayangan.
Mereka yang hanya terpaku pada gambaran lahiriah akan gagal menangkap pesan terdalam Al-Quran: bahwa kenikmatan sejati bukanlah pemuasan indrawi, melainkan pencerahan batiniah.
Keridhaan Allah (ridwanullah), sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran, lebih agung daripada semua kenikmatan fisik yang dijanjikan. Ia adalah puncak anugerah, karena dalam keridhaan itulah jiwa manusia mengalami kebebasan sempurna dari keterpisahan.
Jiwa tidak lagi merasakan jurang antara dirinya dan Sang Sumber Kebenaran. Inilah kebahagiaan hakiki — keadaan di mana makna, kebenaran, dan cinta bertemu dalam satu pengalaman yang utuh.
Maka, surga yang dijanjikan bukanlah sekadar tempat, melainkan suatu keadaan eksistensial, di mana segala bentuk keterasingan dari Allah sirna, dan jiwa beristirahat dalam lautan kedekatan yang abadi.
Dengan menyadari kedalaman ini, seorang mukmin tidak lagi mengejar surga dengan motivasi keinginan duniawi, tetapi dengan kerinduan ontologis untuk kembali kepada Sumber Kehidupan.
Ia menghayati dunia ini bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai jalan — jalan untuk menyiapkan dirinya memasuki realitas kebahagiaan yang tak dapat disempitkan oleh kata-kata, sebagaimana firman Allah:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٧
“Tak seorang pun mengetahui betapa banyak keindahan yang disembunyikan untuk mereka, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS As-Sajdah 32:17).(emha)