Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Antara Intervensi dan Kepentingan Rakyat: Menakar Keberlanjutan Pembiayaan Koperasi Merah Putih

90
×

Antara Intervensi dan Kepentingan Rakyat: Menakar Keberlanjutan Pembiayaan Koperasi Merah Putih

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menggulirkan sebuah agenda pembangunan yang ambisius melalui program Koperasi Merah Putih, yang dirancang sebagai pilar ekonomi baru di pedesaan.

Dengan target menjangkau 80.000 desa, koperasi ini digadang sebagai solusi layanan sembako murah, simpan pinjam, penguatan rantai pasok pertanian-perikanan, hingga penyediaan klinik kesehatan. Sekilas, ini tampak sebagai bentuk nyata pembangunan inklusif berbasis rakyat.

Namun, ketika ambisi besar ini dibarengi dengan desain pembiayaan yang bertumpu pada bank-bank BUMN (Himbara), muncul pertanyaan krusial: sejauh mana intervensi negara atas bank milik negara ini masih selaras dengan prinsip tata kelola sehat dan keberlanjutan sistem keuangan? Apakah yang sedang dibangun ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau justru untuk membenarkan intervensi ekonomi yang berisiko jangka panjang?

Kredit atau Instruksi?

Skema pembiayaan koperasi ini berpotensi melibatkan suntikan dana antara Rp2 hingga Rp5 miliar per koperasi. Dikalikan dengan 80.000 koperasi, total pembiayaan bisa menembus Rp160 triliun—jumlah yang sangat besar bahkan untuk bank BUMN sekalipun.

Ketika pembiayaan sebesar ini dilakukan melalui skema pinjaman dari bank negara, muncul dugaan kuat bahwa instrumen perbankan sedang digunakan bukan semata untuk pertimbangan bisnis, melainkan atas dasar instruksi politik.

Bank milik negara memang memiliki mandat pembangunan. Namun, mandat itu tidak berarti bank harus mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Jika pembiayaan diberikan kepada koperasi baru tanpa rekam jejak usaha yang jelas, apalagi di wilayah-wilayah dengan kapasitas manajerial terbatas, risiko kredit macet menjadi tak terhindarkan. Bila hal ini terjadi, bukan hanya keuangan bank yang terganggu, tetapi juga stabilitas sistem perbankan nasional.

Dana Desa Jadi Andalan, Siapa yang Tanggung Risiko?

Pemerintah menyatakan bahwa dana desa bisa digunakan untuk mencicil pinjaman koperasi. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran baru: apakah dana desa kini menjadi jaminan tidak tertulis bagi kredit yang disalurkan bank BUMN? Jika koperasi gagal bayar, apakah dana desa akan diserap untuk menyelamatkan kredit?

Pertanyaan ini penting karena dana desa sejatinya ditujukan untuk pelayanan dasar masyarakat: infrastruktur kecil, kesehatan, pendidikan, dan kegiatan pemberdayaan.

Mengalihfungsikannya untuk menutup kewajiban kredit koperasi berarti menggeser prioritas dari kebutuhan nyata masyarakat ke risiko bisnis yang tidak dikaji matang. Di sinilah terjadi pengaburan antara program rakyat dan kepentingan elit.

Keberlanjutan: Visi Hebat Tanpa Fondasi Kuat?

Tidak ada yang salah dengan niat membangun koperasi di desa. Bahkan, ini bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan pada tengkulak, rente pasar, dan akses terbatas terhadap layanan publik. Namun, koperasi bukan sekadar lembaga. Ia adalah institusi sosial-ekonomi yang membutuhkan tata kelola, kepemimpinan yang kompeten, pelatihan, dan sistem akuntabilitas.

Jika koperasi dibentuk secara top-down, tergesa-gesa, dan hanya untuk memenuhi target, maka yang muncul adalah koperasi-koperasi fiktif, asal jadi, atau mati suri. Ini bukan hanya membuang uang negara, tapi juga menambah beban bagi bank BUMN yang menyalurkan pembiayaan tanpa perlindungan risiko yang memadai.

Mencegah Agar Kepentingan Rakyat Tidak Dipolitisasi

Ironisnya, justru atas nama rakyat, program seperti Koperasi Merah Putih berisiko membebani rakyat sendiri. Ketika bank negara terdorong menyalurkan kredit di luar batas aman, dan dana desa dialihkan untuk mencicil utang yang tidak produktif, maka masyarakat desa-lah yang akhirnya menanggung akibatnya: dana pembangunan tersedot, fasilitas terbengkalai, dan koperasi tak berjalan.

Kita tidak bisa lagi mengabaikan pentingnya evaluasi menyeluruh atas skema ini—baik dari sisi tata kelola, desain kelembagaan, hingga transparansi pembiayaan.

Perlu ada keterlibatan publik, akademisi, dan lembaga pengawas independen untuk memastikan bahwa intervensi negara benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar proyek politis yang menyamar sebagai pembangunan.

 Kepentingan Siapa yang Dibenarkan?

Koperasi Merah Putih bisa menjadi tonggak penting dalam sejarah pembangunan desa—jika dibangun dengan hati-hati, transparan, dan akuntabel. Namun jika dilakukan dengan pendekatan “asal jalan”, mengabaikan kapasitas lokal dan menekan bank BUMN di luar batas profesionalitasnya, maka program ini lebih mencerminkan intervensi elite daripada perjuangan untuk kepentingan rakyat.

Kini saatnya kita bertanya: di antara intervensi negara dan janji kepentingan rakyat, keberlanjutan pembiayaan koperasi ini berpihak ke mana? (emha)

 

Example 120x600