Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Meninggalkan Kemusyrikan Mazhab: Jalan Menuju Tauhid yang Murni

191
×

Meninggalkan Kemusyrikan Mazhab: Jalan Menuju Tauhid yang Murni

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta – Di antara ajaran paling mendasar dalam Islam adalah tauhid, yaitu pengesaan Allah dalam segala aspek kehidupan—ibadah, hukum, petunjuk, dan sumber kebenaran.

Tauhid bukan hanya penolakan terhadap penyembahan berhala fisik, tetapi juga penolakan terhadap segala bentuk penyekutuan otoritas Allah, termasuk ketika manusia mengangkat mazhab, golongan, atau tokoh keagamaan menjadi standar kebenaran yang sejajar dengan atau bahkan melampaui wahyu Ilahi.

Realitas umat Islam hari ini menunjukkan bahwa banyak orang lebih setia pada mazhab daripada pada Al-Qur’an. Mereka mematuhi fatwa ulama dan ajaran imam mazhab tanpa menguji apakah ajaran tersebut benar-benar bersandar pada firman Allah.

Akibatnya, kebenaran dipetakan berdasarkan garis mazhab, bukan berdasarkan wahyu. Inilah bentuk kemusyrikan modern yang tak selalu disadari: menjadikan mazhab sebagai tandingan Allah dalam hal penetapan hukum dan petunjuk.

Al-Qur’an mengingatkan secara tegas:

…وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ ۝٣١مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًاۗ كُلُّ حِزْبٍ ۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ ۝٣٢

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS. Ar-Ruum: 31–32)

Ayat ini menunjukkan bahwa perpecahan dan fanatisme golongan bukan sekadar masalah sosial atau teologis, tetapi merupakan bentuk penyekutuan kepada Allah.

Ketika umat lebih percaya pada ajaran-ajaran yang tidak berasal dari Al-Qur’an—baik berupa hadis yang tidak mutawatir, fatwa ulama, atau hasil konsensus mazhab tertentu—maka saat itu juga mereka telah menisbahkan otoritas Tuhan kepada selain-Nya.

Mazhab: Sejarah atau Jalan Hidup?

Mazhab-mazhab fiqh seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali lahir dari upaya manusia memahami hukum-hukum agama dalam konteks sosial dan geografis tertentu.

Demikian pula dalam teologi, munculnya Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan lainnya merupakan refleksi dari dialektika pemikiran di masa silam.

Namun, yang awalnya merupakan hasil ijtihad, lambat laun menjadi dogma yang tidak boleh digugat.

Para pengikutnya pun lebih sering mewarisi ajaran itu secara taklid—mengikuti tanpa memahami dan tanpa mengkritisi. Dalam banyak kasus, ajaran mazhab lebih diprioritaskan daripada Al-Qur’an, bahkan ketika keduanya tampak bertentangan. Inilah titik kritis di mana mazhab berubah dari sarana menjadi sekutu dalam kemusyrikan.

Tauhid yang Murni: Kembali pada Sumber

Islam adalah agama wahyu, bukan agama warisan. Al-Qur’an adalah satu-satunya sumber petunjuk yang dijamin kemurniannya oleh Allah:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ ۝٩

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”
(QS. Al-Hijr: 9)

Kembali kepada tauhid yang murni berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran, dan menguji setiap ajaran—termasuk hadis, fatwa, atau tradisi mazhab—dengan cahaya wahyu. Jika sejalan, maka diterima.

Jika bertentangan, maka ditinggalkan, sebagaimana Ibrahim meninggalkan ayah dan kaumnya karena mereka menyekutukan Tuhan.

Tauhid yang murni juga menuntut pembebasan diri dari identitas golongan. Islam bukanlah milik Syafi’i, Ja’fari, Wahhabi, atau Sufi. Islam adalah agama yang lurus (din al-qayyim), yang mengajak manusia menyembah Allah semata dan mengikuti petunjuk-Nya sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an.

اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ ۝٣

“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jangan kamu mengikuti selain-Nya sebagai pemimpin-pemimpin. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran.”  (QS. Al-A’raaf: 3)

Langkah Menuju Pembebasan

  1. Kritis terhadap warisan keagamaan – Menyadari bahwa mazhab adalah produk sejarah yang tidak maksum.
  2. Membaca Al-Qur’an secara langsung dan menyeluruh – Tidak hanya bergantung pada tafsir atau pendapat ulama.
  3. Menolak taklid buta – Menghindari sikap ikut-ikutan tanpa dalil yang jelas dari wahyu.
    Menjalin ukhuwah tanpa sekat mazhab – Membangun persaudaraan atas dasar tauhid, bukan atas dasar kesamaan aliran.
  4. Memurnikan niat ibadah – Hanya untuk Allah, bukan demi pengakuan kelompok atau tradisi.

Jalan Tauhid adalah Jalan Pembebasan

Meninggalkan kemusyrikan mazhab bukan berarti menolak ilmu atau merendahkan upaya para ulama terdahulu. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk meletakkan segala bentuk pengetahuan keagamaan dalam posisi yang tunduk kepada wahyu.

Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap Allah sebagai satu-satunya sumber hukum dan petunjuk hidup.

Tauhid adalah jalan pembebasan. Ia membebaskan manusia dari belenggu otoritas buatan manusia, dari dominasi budaya religius yang membungkus penyimpangan, dan dari fanatisme yang memecah umat. Hanya dengan tauhid yang murni, Islam dapat kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (emha)

Example 120x600