ppmindonesia.com.Jakarta -Di tengah riuh rendah wacana tentang kepemimpinan—penuh dengan jargon manajemen modern, kompetisi elektoral, dan kultus individu—kita sering kali terjebak dalam bayang-bayang para elit. Sosok pemimpin dipersepsi sebagai figur kuat di balik meja rapat, berdasi, berbicara strategi dan statistik.
Namun, di luar gedung-gedung tinggi itu, di hamparan sawah yang membentang luas, tersembunyi filosofi kepemimpinan sejati. Sosok itu tidak dikenal di layar kaca, tidak memiliki gelar mentereng, tapi ia adalah penopang kehidupan—petani padi.
Ia bekerja dalam senyap, di bawah terik matahari, ditemani angin pagi dan lumpur yang melekat di kaki. Tapi dari tangannya tumbuh makanan, dari peluhnya lahir ketahanan, dan dari ketekunannya kita bisa menimba makna tentang memimpin dan melayani.
1.Membajak Tanah: Kepemimpinan yang Turun ke Akar
Petani memulai hari-harinya sebelum fajar menyingsing, membajak tanah yang keras dengan tenaga dan kesabaran. Ia tidak menunggu perintah atau kemudahan. Ia hadir lebih awal, bekerja lebih berat, dan memahami bahwa kesuburan tidak datang dari kemewahan, tapi dari kerja keras yang konsisten.
Begitu pula pemimpin sejati—ia harus menjadi yang pertama menginjak lumpur persoalan rakyat, hadir langsung dalam denyut kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya menatap negeri dari balik kaca kendaraan mewah. Sebab, negeri tidak akan tumbuh subur bila pemimpinnya enggan turun ke ladang kenyataan.
2. Menyemai Benih: Merancang Masa Depan Rakyat
Setelah membajak, petani membuat persemaian. Di sanalah benih-benih padi ditanam, disiram, dan dijaga dengan kasih sayang. Setiap benih mendapat perlakuan yang adil dan perhatian yang sabar, agar kelak tumbuh menjadi tanaman yang kuat.
Beginilah seharusnya seorang pemimpin melihat rakyatnya—bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan potensi yang perlu dibina. Pendidikan, kesehatan, dan kesempatan hidup yang layak adalah persemaian masa depan bangsa. Rakyat yang tumbuh dalam perhatian akan menjadi kekuatan yang menghidupi negeri.
3.Menghadapi Hama: Melayani dan Melindungi Tanpa Pamrih
Saat padi tumbuh di sawah terbuka, tantangan datang bertubi-tubi: tikus, keong, penyakit. Tapi petani tidak menyerah. Ia terus menjaga, mengusir hama, menambal saluran air, dan memastikan padinya tetap hidup.
Begitu pula tugas pemimpin sejati: ia tak sekadar menyusun program, tetapi hadir melindungi rakyatnya dari ketimpangan, korupsi, dan bencana. Ia bukan penguasa yang menuntut pujian, tapi pelayan yang bekerja dalam diam. Melindungi adalah panggilan, bukan sekadar tugas.
4.Menuai dengan Rendah Hati
Saat panen tiba, petani tidak berpesta pora. Ia bersyukur dalam diam. Ia tidak mengklaim keberhasilan untuk diri sendiri, karena ia tahu panen adalah hasil dari kerja kolektif: matahari, hujan, tanah, dan waktu.
Pemimpin pun seharusnya seperti itu—tidak mengejar kemuliaan pribadi, tapi mengupayakan kemaslahatan umum. Tidak sibuk membangun citra, tapi fokus membangun bangsa.
Belajar dari Kesunyian Sawah
Kepemimpinan bukan soal popularitas. Ia adalah tentang hadirnya tanggung jawab, keikhlasan untuk mengabdi, dan keberanian untuk mencintai rakyat tanpa syarat.
….اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“……..Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam ayat ini, Allah tidak menyebut jabatan atau status, tapi ketakwaan—dan takwa sering kali tersembunyi dalam kerja-kerja senyap seperti yang dilakukan petani.
Sudah saatnya kita belajar dari kesederhanaan. Bahwa negeri ini tidak butuh pemimpin yang hanya pandai bicara, melainkan yang kuat bekerja. Yang tidak hanya hadir di baliho, tapi juga nyata di tengah penderitaan rakyatnya.
Mari tengok sawah. Lihat petani yang sedang membungkuk, berkeringat, dan tak berharap pujian. Di sanalah kepemimpinan sejati sedang hidup—dalam bentuk yang paling murni dan paling menginspirasi.(emha)