ppminonesia.com.Jakarta – Di tengah gencarnya upaya pemerintah menarik investasi dan membangun citra Indonesia sebagai negara ramah usaha, sebuah ancaman serius terus membayangi dunia bisnis: premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas). Aksi-aksi ormas yang melampaui fungsi sosial dan hukum kini menjadi momok menakutkan bagi pelaku industri, investor asing, hingga pelaku UMKM di dalam negeri.
Berbagai laporan menyebutkan bahwa ulah ormas yang kerap memaksakan kehendak, mengintimidasi perusahaan, hingga melakukan pemerasan telah menyebabkan kerugian yang tidak kecil. Bahkan, menurut Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, nilai investasi yang batal masuk akibat gangguan keamanan dan premanisme bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
Dari Sosial ke Pemaksaan Ekonomi
Sejatinya, ormas adalah pilar penting demokrasi. Namun, dalam praktiknya, sejumlah ormas menyimpang dari mandat sosialnya. Mereka memanfaatkan legalitas organisasi untuk menekan perusahaan dengan berbagai tuntutan: dari jatah proyek, “uang keamanan”, hingga pemaksaan perekrutan tenaga kerja lokal yang bukan berbasis kompetensi, melainkan relasi.
“Setiap kami mulai proyek, selalu muncul pihak-pihak yang mengklaim wilayah kerja dan meminta bagian. Kalau tidak diberi, ancamannya bisa sampai menyegel proyek,” ungkap seorang pelaku industri di kawasan Cilegon, Banten, yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Investor Menjauh, Ekonomi Terancam
Masalah ini bukan sekadar gangguan operasional. Premanisme ormas menciptakan atmosfer ketidakpastian yang membuat investor enggan melanjutkan ekspansi bisnis. Vietnam, Malaysia, dan Filipina kini menjadi pilihan lebih menarik karena jaminan keamanan usaha yang lebih stabil dan birokrasi yang tidak tersandera oleh tekanan informal.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mencatat bahwa biaya keamanan informal—alias “biaya siluman”—di Indonesia bisa mencapai 5–10 persen dari total nilai proyek, hanya untuk membayar “ketenangan”. Ini membuat iklim investasi di Indonesia menjadi mahal dan penuh risiko.
“Premanisme adalah bentuk biaya tak terlihat yang justru menggerogoti daya saing ekonomi nasional,” tegas Bhima.
Modus yang Beragam dan Terorganisir
Jerat ormas preman kini hadir dalam banyak bentuk:
- Pemalakan berkedok CSR: Perusahaan dipaksa menyumbang dalam jumlah tertentu atas nama “bina lingkungan”.
- Pemaksaan proyek atau suplai material: Ormas meminta ditunjuk sebagai vendor atau subkontraktor meski tak memiliki kapasitas.
- Intimidasi rekrutmen tenaga kerja: Tuntutan agar anggota mereka diterima bekerja tanpa proses seleksi wajar.
- Ancaman digital: Menggunakan media sosial untuk menyebar fitnah, boikot, atau tekanan terhadap perusahaan yang menolak permintaan mereka.
Ketika Negara Kalah oleh Tekanan Jalanan
Yang lebih mencemaskan, negara seakan gamang menghadapi fenomena ini. Aparat penegak hukum seringkali ragu bertindak karena pelaku mengatasnamakan “rakyat”, “umat”, atau kelompok “lokal”. Padahal, dalam banyak kasus, ormas tersebut sama sekali tidak mewakili komunitas warga sekitar, melainkan hanya sekelompok kecil yang memanfaatkan kekosongan hukum.
Tulisan M. Ramli dalam “Ketika Negara Kalah dengan Ormas” menegaskan bahwa ketika pemerintah tidak berani menindak kelompok-kelompok ini, maka wibawa negara diruntuhkan, dan hukum kehilangan otoritasnya. Ketakutan ini bisa menjalar dan melumpuhkan seluruh upaya reformasi ekonomi dan iklim investasi.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Jika pemerintah benar-benar serius menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di Asia Tenggara, maka:
- Penertiban ormas liar dan penyalahgunaan legalitas organisasi harus dilakukan segera.
- Pemerintah perlu membentuk gugus tugas nasional anti-premanisme yang melibatkan aparat, pelaku usaha, dan masyarakat sipil.
- Perlu regulasi yang tegas dan pembatasan terhadap ormas yang melibatkan diri dalam aktivitas ekonomi tanpa izin dan kompetensi.
- Lindungi pelaku usaha dari ancaman digital dan doxing oleh ormas yang menyalahgunakan kebebasan berekspresi.
Saatnya Negara Menang
Jerat ormas preman bukan hanya soal ketertiban umum, tapi menyangkut masa depan ekonomi nasional. Indonesia tak akan pernah menjadi negara industri yang kompetitif jika masih tunduk pada kekuatan jalanan yang memaksakan kehendak di luar konstitusi.
Saatnya pemerintah menunjukkan ketegasan. Bukan dengan retorika, tapi dengan aksi nyata. Sebab, jika ratusan triliun investasi terus melayang, yang akan merugi bukan hanya dunia usaha, tapi seluruh rakyat Indonesia.(emha)