ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam pidatonya memperingati Hari Buruh Internasional di Lapangan Monas, Jakarta, 1 Mei 2025, Presiden RI terpilih Prabowo Subianto menyampaikan komitmen yang mengejutkan sekaligus membesarkan hati kalangan buruh: keinginan untuk menghapus sistem kerja outsourcing di Indonesia.
“Saya akan meminta Dewan Kesejahteraan Nasional mempelajari bagaimana caranya kita, kalau bisa tidak segera, tapi secepat-cepatnya, ingin menghapus outsourcing,” tegas Prabowo di hadapan ribuan buruh yang hadir.
Pernyataan ini sontak menimbulkan diskusi publik yang luas. Dari satu sisi, janji tersebut dianggap sebagai bentuk keberpihakan politik terhadap buruh, kelompok yang disebut Prabowo selalu berdiri bersamanya dalam lima kali kontestasi Pilpres. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: mungkinkah sistem outsourcing benar-benar dihapus di Indonesia, dan apa dampaknya bagi pasar tenaga kerja nasional?
Mengurai Definisi dan Problematika Outsourcing
Outsourcing atau alih daya adalah praktik di mana suatu perusahaan menyerahkan sebagian fungsi kerja kepada pihak ketiga, biasanya dengan tujuan efisiensi biaya. Di Indonesia, praktik ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.
Secara legal, perusahaan diperbolehkan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dengan perjanjian tertulis. Namun dalam praktiknya, sistem ini sering menimbulkan ketimpangan perlindungan dan kesejahteraan bagi para pekerja, terutama karena hubungan kerja tidak terjadi langsung antara pekerja dan perusahaan pengguna jasa.
Berbeda dengan pekerja kontrak yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan dengan perjanjian waktu tertentu (PKWT), pekerja outsourcing berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Hal ini menjadikan posisi tawar mereka jauh lebih lemah, terutama dalam aspek perlindungan hak-hak normatif, seperti jaminan sosial, upah layak, dan kepastian kerja.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago, memberikan respons kritis terhadap rencana tersebut. Ia menyatakan bahwa alih daya adalah praktik umum yang dilegalkan di banyak negara. “Soal outsourcing, rasanya apa mungkin bisa dihapus? Karena di seluruh dunia pekerja outsourcing ada dan dilegalkan,” ujarnya.
Menurut Irma, fokus seharusnya bukan pada penghapusan total, melainkan pada perbaikan regulasi, khususnya terkait pelarangan outsourcing pada pekerjaan inti dan peningkatan perlindungan hak pekerja.
Pandangan serupa disampaikan oleh Tadjuddin Noer Effendi, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai, penghapusan outsourcing tanpa strategi transisi yang jelas justru dapat meminggirkan kelompok pekerja berpendidikan rendah yang selama ini banyak terserap oleh sistem tersebut.
“Kalau outsourcing dihapus begitu saja, masyarakat kelas bawah akan kehilangan peluang kerja yang selama ini tersedia melalui sistem itu,” jelas Tadjuddin.
Janji yang Perlu Dijalankan dengan Strategi Komprehensif
Presiden Prabowo tidak berhenti pada isu outsourcing. Ia juga menyatakan akan membentuk Satgas PHK untuk mencegah pemutusan hubungan kerja semena-mena, serta mendukung percepatan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Komitmen ini, jika benar dijalankan, bisa menjadi langkah awal dari reformasi ketenagakerjaan yang lebih berkeadilan.
Namun demikian, janji penghapusan outsourcing menuntut lebih dari sekadar komitmen politik. Ia memerlukan desain kebijakan transisi yang matang, dialog sosial yang inklusif dengan pelaku usaha dan serikat pekerja, serta reformulasi sistem hubungan industrial yang adil dan adaptif terhadap kebutuhan dunia kerja modern.
Apalagi, dalam lanskap global, sistem outsourcing masih menjadi praktik dominan dalam industri yang membutuhkan fleksibilitas tinggi. Indonesia tak bisa menutup mata terhadap realitas ini. Yang perlu ditegaskan adalah batasan yang tegas: pekerjaan inti dan strategis seharusnya tidak diserahkan kepada pihak ketiga, dan hak-hak buruh dalam sistem alih daya harus dijamin oleh negara.
Penutup: Jalan Tengah yang Berkeadilan
Janji Presiden Prabowo menghapus sistem outsourcing adalah sebuah pernyataan politik yang kuat. Namun kekuatan politik harus ditopang oleh kebijakan yang cermat dan keberanian mengambil jalan tengah yang berkeadilan: tidak menyerah pada pasar, namun juga tidak menutup akses terhadap fleksibilitas yang dibutuhkan dunia kerja.
Buruh tidak boleh lagi menjadi korban dalam sistem ekonomi yang timpang. Namun dalam memperjuangkan hak mereka, kita juga perlu memastikan bahwa setiap langkah kebijakan tetap membuka ruang kerja yang produktif dan inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia.(emha)