ppmindonesia.com .Jakarta – Di berbagai pelosok dunia Islam, lantunan Al-Qur’an menggema dari pengeras suara masjid, dari rumah-rumah di waktu sahur dan berbuka, dari mobil-mobil yang melaju di jalanan, hingga dari media sosial yang memutarnya dalam format rekaman.
Suara-suara merdu qari dan qariah dikenal luas, bahkan dikultuskan. Namun di balik semua itu, ada kenyataan yang mengejutkan: pesan Al-Qur’an justru semakin tak terdengar, tertutup oleh keindahan lantunan suara yang mengiringinya.
Fenomena ini bukan hal yang asing. Banyak umat Islam yang telah diajarkan sejak kecil untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar, tetapi sedikit sekali yang diajak untuk memahami makna dari setiap ayat yang dilafalkan.
Membaca tanpa mengerti menjadi rutinitas yang dianggap suci, bahkan cukup untuk meraih pahala. Al-Qur’an menjadi kitab yang dibaca demi pahala, bukan demi petunjuk. Ia menjadi simbol keberkahan, bukan panduan kehidupan.
Ada semacam kekeliruan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi: bahwa menghormati Al-Qur’an berarti menyimpannya di tempat tinggi, menjaganya dari najis, dan membacanya dengan suara indah – bukan dengan merenunginya, bukan dengan mempertanyakannya, bukan dengan menjadikannya dasar berpikir dan bertindak.
Dalam kondisi seperti ini, Al-Qur’an hadir sebagai ornamen keagamaan, bukan sebagai ruh agama itu sendiri.
Ketika Suara Mengalahkan Pesan
Keindahan suara tilawah sering kali menjadi pusat perhatian. Banyak yang menangis karena getaran emosional dari qari favorit mereka, tapi tak sedikit yang tak tahu apa isi dari ayat yang mereka tangisi. Ironis, ketika suara bisa menggugah, tapi makna diabaikan. Sebuah paradoks yang semakin menegaskan bahwa kita hidup di era di mana formalisme agama sering menutupi esensinya.
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ٢٠٤
Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati. (QS. Al-A’raf ayat 204)
Dalam QS. Al-A’raf ayat 204, Allah memerintahkan kita untuk diam dan mendengarkan saat Al-Qur’an dibacakan, agar kita mendapat rahmat. Tapi diam di sini bukan sekadar berhenti bicara – ia adalah perintah untuk membuka hati dan pikiran, untuk memahami. Jika Al-Qur’an hanya dibaca demi irama, lalu di mana ruang bagi akal dan ruh untuk menyerap petunjuk?
Ketaatan Buta dan Hilangnya Kesadaran
Lebih dalam lagi, budaya ketaatan terhadap tradisi sering membuat umat menjauh dari semangat kritis yang dituntut oleh Al-Qur’an sendiri. Banyak yang lebih percaya kepada tafsir orang lain tanpa pernah membuka Al-Qur’an secara langsung.
Mereka berkata, “Saya bukan ahli agama,” atau “Saya takut salah menafsirkan.” Maka mereka lebih memilih mendengar ceramah, membaca kitab-kitab sekunder, dan mengamalkan ajaran yang katanya “sesuai dengan agama,” padahal tak jarang bertentangan dengan semangat Al-Qur’an.
Padahal Al-Qur’an berkali-kali menegaskan bahwa ia adalah petunjuk yang mudah, jelas, dan dapat dipahami oleh siapa saja yang mau berpikir. Allah berfirman,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ١٧
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17).
Kemudahan itu tak dimaksudkan untuk para ulama saja. Ia adalah undangan terbuka untuk setiap manusia yang ingin berjalan dalam terang.
Agama yang Tersisa Hanya Kulitnya
Akibat pengabaian terhadap makna Al-Qur’an, umat Islam mudah terjebak dalam agama yang hanya tinggal bungkus. Mereka shalat, puasa, berhaji, namun perilaku sosial dan moralnya tak mencerminkan nilai-nilai Qur’ani.
Kejujuran, keadilan, kasih sayang, kerja keras, dan tanggung jawab – semua prinsip utama dalam Al-Qur’an – menjadi asing. Mereka lebih sibuk memperdebatkan gerakan shalat, panjang jenggot, atau hukum-hukum kecil, daripada membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
Di sinilah tragedi besar itu terjadi: ketika umat Islam merasa paling religius, justru saat itu mereka paling jauh dari substansi wahyu. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا ٢٤
“Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Atau apakah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Menemukan Kembali Al-Qur’an
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita membaca Al-Qur’an atau tidak. Pertanyaannya adalah: Apakah kita benar-benar mendengarkan apa yang ingin dikatakan Al-Qur’an kepada kita? Sudahkah kita membuka mushaf dengan hati yang rindu akan petunjuk, bukan sekadar kewajiban? Sudahkah kita berhenti sejenak dari keramaian suara, untuk mendengar pesan yang sejati?
Menghidupkan kembali Al-Qur’an berarti menjadikannya dasar dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Ia bukan hanya bacaan malam Ramadhan, tapi sumber hikmah yang menemani setiap keputusan hidup.
Ketika kita mulai membaca terjemahan dan tafsirnya, berdialog dengan ayat-ayatnya, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, saat itulah Al-Qur’an benar-benar hidup.
Dan ketika pesan mengalahkan suara, saat itulah kita akan menemukan kembali jati diri sebagai umat yang diberi cahaya: umat yang berpikir, merenung, dan berjalan di atas jalan yang lurus.(acank)