Scroll untuk baca artikel
BeritaSosial Budaya

Kesultanan Banjar Menolak Pengangkatan Cevi Yusuf Isnendar: Pertaruhan Marwah Budaya dan Sejarah

75
×

Kesultanan Banjar Menolak Pengangkatan Cevi Yusuf Isnendar: Pertaruhan Marwah Budaya dan Sejarah

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

LEGITIMASI: Sultan Banjar H Khairul Saleh (kanan depan) saat terpilih sebagai ketua umum Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) periode 2018-2023. (Foto: kesultanan banjar)

ppmindonesia.com .Jakarta – Penobatan Cevi Yusuf Isnendar sebagai “Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan” pada 6 Mei 2025 yang digelar di Keraton Majapahit, Jakarta, menyisakan polemik yang menggelora di kalangan masyarakat Banjar.

Di tengah sorotan media dan kehadiran tokoh-tokoh nasional seperti AM Hendropriyono, prosesi itu justru ditentang keras oleh pihak Kesultanan Banjar yang sah, yang menilai langkah tersebut sebagai tindakan sepihak yang melecehkan adat dan merendahkan nilai sejarah.

Tiga hari sebelum acara berlangsung, sebanyak 13 adipati dan pejabat adat Kesultanan Banjar menandatangani surat pernyataan keberatan.

Mereka menyatakan bahwa Cevi Yusuf Isnendar tidak memiliki garis legitimasi yang dapat diakui sebagai raja, apalagi mewakili budaya Banjar secara autentik.

Ia hanyalah cicit dari Pangeran Hidayatullah dari jalur ibu (matrilineal), bukan dari jalur keturunan langsung yang sah secara adat. Bahkan gelar “Pangeran” yang disematkan pada namanya disebut tidak pernah diberikan oleh Kesultanan.

“Kami tidak pernah menobatkan atau mengangkat Cevi Yusuf Isnendar dalam prosesi adat badudus maupun pengukuhan Dewan Mahkota. Gelar itu dia pakai sendiri,” tegas para adipati dalam surat mereka.

Sultan yang Diakui dan Diperjuangkan

Kesultanan Banjar sendiri, menurut mereka, telah resmi dibangkitkan kembali pada 10 Desember 2010 berdasarkan Musyawarah Tinggi Adat, dan kini dipimpin oleh Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tashim Billah. Sultan Khairul Saleh bukan hanya memiliki garis keturunan sah, tetapi juga telah mendapat pengakuan luas dari para sesepuh, alim ulama, serta tokoh kerajaan Nusantara lainnya—termasuk Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Tejowulan.

Ia juga menjabat sebagai Ketua Kerapatan Raja dan Sultan se-Borneo, serta memimpin Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) dua periode berturut-turut.

Pengabdiannya dalam pelestarian sejarah Banjar melalui Yayasan Sultan Adam telah berlangsung sejak tahun 2000.

Marwah Budaya yang Dilanggar

Penolakan yang disampaikan para adipati bukan sekadar menyoal soal gelar. Ini menyangkut marwah budaya, sejarah panjang kerajaan, dan identitas masyarakat Banjar yang selama lebih dari satu abad mencoba menjaga warisan mereka pasca pembubaran paksa oleh Belanda tahun 1860.

“Ini soal kehormatan kami sebagai bangsa yang punya akar. Bukan sembarang orang bisa pakai gelar budaya atau mengklaim diri sebagai raja,” ujar Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, atau yang dikenal sebagai Habib Banua.

Menurut Habib Banua, pengangkatan Cevi Yusuf Isnendar telah mengabaikan prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan budaya hidup.

Tidak ada musyawarah adat, tidak ada pengesahan dari komunitas budaya Banjar, dan tidak ada keterlibatan Dewan Mahkota Kesultanan.

“Dia lahir dan besar di Cianjur, bukan di Banua. Bagaimana bisa dia disebut mewakili budaya Banjar jika tak tumbuh di dalamnya?” kritiknya.

Kekecewaan pada Menteri Kebudayaan

Kekecewaan pun ditujukan kepada Dr. H. Fadli Zon, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan RI dan berperan langsung dalam penobatan tersebut.

Habib Banua menilai tindakan Fadli Zon gegabah dan tidak melalui kajian yang matang. Bahkan, langkah itu dinilai melanggar asas legalitas dan prinsip pemerintahan yang baik.

“Seorang menteri tidak bisa bertindak sembarangan hanya karena jabatan. Ada aturan, ada etika, ada masyarakat yang harus dihargai,” ujarnya tegas.

Kritik pun berkembang menjadi desakan agar Sultan Banjar mencabut gelar bangsawan Banjar yang pernah diberikan kepada AM Hendropriyono pada tahun 2016. Gelar “Pangeran Harya” yang dianugerahkan kepada mantan Kepala BIN itu dinilai tidak lagi pantas disandang, mengingat rumahnya justru dijadikan tempat penobatan tokoh tandingan yang merusak tatanan adat.

Pertaruhan Sejarah

Penolakan Kesultanan Banjar atas penobatan ini bukan sekadar konflik internal atau adu klaim personal. Ini pertaruhan besar atas warisan sejarah dan eksistensi budaya yang diperjuangkan kembali dari kepunahan.

Di tengah gempuran modernitas dan politik simbolik, marwah adat mesti tetap dijaga oleh mereka yang sungguh memahami, mencintai, dan hidup bersama nilai-nilai leluhur.

“Budaya bukan panggung pencitraan. Ia adalah roh dari sebuah peradaban,” tutup Habib Banua. (acank)

 

Example 120x600