Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Agama dalam Cermin Al-Qur’an: Antara Ketaatan dan Kepalsuan

90
×

Agama dalam Cermin Al-Qur’an: Antara Ketaatan dan Kepalsuan

Share this article

Penulis: emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com. Jakarta – Di banyak komunitas Muslim, Al-Qur’an telah menjadi simbol suci yang dihormati, namun sering kali hanya secara seremonial. Kehadiran mushaf dalam rumah, lantunan ayat yang menghiasi pembukaan acara, dan kegiatan membaca Al-Qur’an secara rutin telah menjadi bagian dari budaya keagamaan yang dianggap mulia.

Namun, apakah semua ini mencerminkan bentuk ketaatan sejati kepada Kitab Allah? Atau justru menjadi bagian dari kepalsuan religius yang terselubung rapi dalam praktik yang diwariskan secara turun-temurun?

Budaya Tasbih Tanpa Makna

Banyak umat Islam diajarkan sejak kecil untuk melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa Arab dengan fasih, bahkan sebelum mereka memahami arti satu pun kata dari yang mereka baca.

Bagi sebagian besar, Al-Qur’an diperlakukan lebih sebagai objek untuk memperoleh pahala daripada sebagai sumber petunjuk hidup. Dalam konteks ini, “tasbih” terhadap Al-Qur’an tidak lagi berarti pengagungan yang membangkitkan kesadaran spiritual, tetapi sekadar ritual verbal yang kosong dari pemahaman.

Al-Qur’an pun kemudian terpinggirkan dalam kehidupan nyata. Ia tidak menjadi referensi dalam mengambil keputusan, tidak menjadi bahan renungan dalam memahami realitas, dan tidak menjadi sumber kebijaksanaan dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup.

Al-Qur’an dijadikan bacaan yang indah untuk didengarkan, bukan untuk direnungkan. Dihafal tanpa didekati secara intelektual dan spiritual. Diagungkan secara formal, namun diabaikan secara substansial.

Ketaatan Semu dan Kepatuhan Buta

Fenomena ini melahirkan generasi yang merasa telah menjalani agama hanya karena menjalankan ritual-ritual dasar seperti shalat dan puasa.

Padahal, Al-Qur’an secara eksplisit menyeru umat manusia untuk membaca, memahami, dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya. Sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ كِتٰبًا فِيْهِ ذِكْرُكُمْۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَࣖ ۝١٠

“Kami telah menurunkan kepadamu sebuah Kitab yang berisi peringatan bagimu. Apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al-Anbiya: 10).

Anehnya, banyak yang menganggap cukup belajar Islam dari tafsiran orang lain, tanpa pernah membuka dan mendalami isi Al-Qur’an secara langsung.

Ketika ditanya tentang ayat-ayat tertentu, jawabannya adalah: “Saya bukan ustaz,” atau “Itu urusan ulama.” Padahal, setiap individu bertanggung jawab terhadap pemahamannya sendiri atas wahyu Tuhan.

Keengganan untuk menyentuh Al-Qur’an secara intelektual merupakan bentuk penghindaran dari tanggung jawab spiritual yang sangat mendasar.

Rahmat yang Disia-siakan

Al-Qur’an bukan kitab misterius yang hanya bisa dipahami oleh segelintir orang terpilih. Allah telah menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk yang mudah, penuh cahaya dan rahmat bagi siapa pun yang beriman dan menginginkan kebenaran.

Dalam QS. Al-Ma’idah: 15-16 Allah berfirman:

يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُعَنْ كَثِيْرٍ ەۗ قَدْ جَاۤءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ ۝١٥وْا

“Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah cahaya dan Kitab yang jelas, dengan kitab itu Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan kedamaian.”

Namun, petunjuk ini tidak akan berarti apa-apa jika Al-Qur’an hanya dijadikan lambang, bukan sumber ilmu dan hikmah.

Ketika Al-Qur’an tidak dipahami, maka tafsir-tafsir buatan manusia menjadi pengganti wahyu, bahkan kadang justru bertentangan dengannya. Inilah bentuk ketaatan semu yang sejatinya adalah kepalsuan religius—taat pada budaya, bukan pada wahyu; tunduk pada tradisi, bukan pada kebenaran.

Refleksi dan Seruan Kritis

Pertanyaannya kemudian: Apakah kita benar-benar menjalankan agama yang diturunkan oleh Allah, atau agama hasil rekonstruksi budaya yang diberi label Islam?

Sudahkah kita membaca Al-Qur’an dalam bahasa yang kita pahami dari awal hingga akhir? Seberapa sering kita merujuk pada Al-Qur’an dalam mengambil keputusan hidup, dalam membentuk pandangan politik, sosial, dan spiritual kita?

Jika jawaban-jawaban ini tidak memuaskan, maka kita perlu waspada. Jangan-jangan kita telah menggantikan Kitab Allah dengan “kitab lain” sebagaimana disebut dalam QS. Al-Qalam: 37, yaitu kitab-kitab ciptaan manusia yang lebih kita percayai dibandingkan wahyu itu sendiri.

اَمْ لَكُمْ كِتٰبٌ فِيْهِ تَدْرُسُوْنَۙ ۝٣٧

Atau, apakah kamu mempunyai kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu pelajari?

Penutup: Kembali pada Al-Qur’an

Ketaatan sejati dalam Islam bukanlah mengikuti arus mayoritas atau menyerahkan pemikiran kepada otoritas tanpa berpikir kritis. Justru Islam menuntut keterlibatan pribadi yang mendalam dengan Al-Qur’an—membacanya, memahaminya, dan menghidupkannya dalam tindakan.

Hanya dengan cara inilah seorang Muslim dapat menanggalkan kepalsuan dan memasuki jalan ketaatan yang hakiki.

Mengabaikan Al-Qur’an adalah bentuk pengingkaran yang nyata, meskipun seseorang masih membaca atau menghafalnya secara rutin.

Sebagaimana disebut dalam QS. Al-An’am: 155-157, berpaling dari ayat-ayat Allah adalah bentuk kelaliman yang akan dibalas dengan azab yang pedih.

Maka, mari kita bercermin: apakah agama yang kita jalani adalah agama Allah dalam Al-Qur’an, ataukah sekadar warisan budaya yang kita terima tanpa pertanyaan? (emha)

Example 120x600