ppmindonesia.com.Jakarta – Di pesisir selatan Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Sukabumi, terhampar sebuah kawasan yang tak hanya memikat dengan keindahan alamnya, tetapi juga menyimpan kisah-kisah penuh misteri: Palabuhanratu.
Kota kecil yang dahulu disebut “Wijnkoopsbaai” oleh Belanda ini tak pernah sepi dari mitos, legenda, dan sejarah panjang yang mengikat erat antara manusia, alam, dan kekuatan gaib.
Jejak Sang Putri: Warisan Prabu Siliwangi
Konon, jauh sebelum menjadi pusat pariwisata dan perikanan, kawasan ini adalah tempat pelarian seorang putri dari kerajaan besar Pajajaran. Putri ini, dalam berbagai versi tutur masyarakat, disebut sebagai salah satu keturunan Prabu Siliwangi—raja legendaris yang dianggap agung oleh masyarakat Sunda.
Sang putri dikisahkan melarikan diri ke selatan karena menolak dijodohkan, atau dalam versi lain, menghindari konflik politik istana.
Di tengah pelariannya, ia sampai di muara Sungai Cibareno dan tinggal di hutan lebat yang kini dikenal sebagai wilayah Palabuhanratu.
Bersama para pengikut setia, ia mendirikan permukiman dan menjadi pemimpin spiritual. Masyarakat setempat menyebutnya “Ratu Puun”, pemimpin adat dan ruhani yang mengayomi.
Dari Palabuhan Sang Ratu ke Palabuhanratu
Nama “Palabuhanratu” sendiri berasal dari dua kata: palabuhan (pelabuhan) dan ratu (ratu atau pemimpin wanita).
Istilah ini diyakini merujuk pada tempat singgah atau pelabuhan sang ratu puun. Dalam catatan Belanda abad ke-17, kawasan ini disebut sebagai “Pelabuhan Ratoe”, mencerminkan eksistensi sosok perempuan penting yang menjadi ikon kawasan ini.
Seiring waktu, mitos tentang sang putri bercampur dengan legenda lain yang lebih besar dan lebih mistis: Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan yang dipercaya memiliki kerajaan gaib di dasar samudra.
Nyi Roro Kidul dan Larangan Baju Hijau
Legenda Nyi Roro Kidul begitu melekat di Palabuhanratu. Ia digambarkan sebagai wanita cantik berwibawa, mengenakan kebaya hijau, dan memiliki kuasa memanggil manusia ke alamnya.
Pantai-pantai Palabuhanratu—seperti Pantai Karang Hawu dan Pantai Citepus—diyakini sebagai gerbang kerajaan gaib sang ratu laut.
Salah satu cerita paling populer adalah tentang larangan mengenakan pakaian hijau di sekitar pantai. Warna tersebut diyakini sebagai warna kesukaan Nyi Roro Kidul, dan siapa pun yang memakainya dianggap “menantang” atau “dipanggil” oleh sang ratu.
Cerita ini menjadi bagian dari daya tarik wisata, namun juga memperkuat aura mistis yang menyelimuti wilayah ini.
Hotel Samudra Beach, ikon wisata Palabuhanratu, bahkan memiliki Kamar 308 yang dikhususkan untuk Nyi Roro Kidul.
Kamar ini dirawat seperti tempat keramat, lengkap dengan sesajen dan hiasan bernuansa hijau. Banyak tokoh nasional—dari Soekarno hingga presiden-presiden setelahnya—konon pernah berziarah atau bermeditasi di sana.
Antara Mitos dan Realitas
Apakah Nyi Roro Kidul adalah sosok yang sama dengan putri Prabu Siliwangi? Ataukah mereka dua entitas berbeda yang akhirnya dilebur dalam narasi kolektif masyarakat? Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas,
Palabuhanratu adalah ruang di mana sejarah, budaya, dan mitos saling bersilangan. Di sinilah memori kolektif masyarakat Sunda tentang kehormatan, spiritualitas, dan hubungan dengan alam terus hidup dan berkembang.
Hari ini, Palabuhanratu bukan hanya menjadi tempat berlibur, memancing, atau berselancar. Ia adalah ruang spiritual dan budaya yang menantang kita untuk melihat sejarah bukan sekadar kronologi, tapi juga sebagai narasi hidup yang membentuk identitas.
Jika suatu hari Anda berkunjung ke sana, jangan hanya memandangi ombak dan menikmati udara laut.
Cobalah dengarkan desiran angin, bisik ombak, dan kisah-kisah yang masih bergema dari masa lalu. Siapa tahu, Anda bisa merasakan kehadiran sang Ratu.(acank)