Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

Jari, Waktu, dan Hati: Menjaga Kesalehan di Era Digital

74
×

Jari, Waktu, dan Hati: Menjaga Kesalehan di Era Digital

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

Ilustrasi ketika jari, waktu dan hati larut bersama dengan gadget (foto freepik.com)

ppmindonesia,com.Jakarta – Dunia telah mengalami perubahan besar. Dari zaman ketika komunikasi hanya bisa dilakukan lewat tatap muka atau surat yang memakan waktu berminggu-minggu, kini kita hidup dalam era digital yang serba cepat dan instan.

Dalam genggaman tangan—melalui sebuah perangkat kecil bernama ponsel—kita bisa berinteraksi lintas benua dalam hitungan detik. Media sosial menjadi jembatan pertemuan, ruang pernyataan diri, hingga tempat mencari pengakuan.

Namun, bersama kemudahan itu, tantangan baru muncul. Waktu menjadi cepat berlalu, jari-jari kita terus sibuk menggeser layar, dan hati pun rentan terseret arus.

Banyak dari kita tidak sadar bahwa yang sedang diuji bukan hanya cara kita menggunakan teknologi, melainkan juga kesalehan kita sebagai pribadi Muslim.

Di sinilah pentingnya mengingat kembali peran “jari, waktu, dan hati” dalam menjaga kesucian hidup di tengah godaan dunia digital.

Jari yang Menulis, Tapi Bisa Menyakiti

Dalam satu hari, berapa banyak kata yang kita ketik dan unggah di media sosial? Kita mungkin tak menghitungnya.

Namun setiap kata dan kalimat yang keluar dari jari kita pada dasarnya mencerminkan isi hati dan pikiran. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:

“Seorang Muslim adalah orang yang tidak mengganggu Muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tangan yang dimaksud di sini bisa dipahami juga sebagai jari-jari yang kita gunakan untuk mengetik. Imam Al-Ghazali dalam Bidāyah al-Hidāyah mengingatkan bahwa qalam (pena)—yang kini bisa diterjemahkan sebagai keyboard atau gawai digital—memiliki kekuatan yang serupa dengan lisan. Apa yang ditulis bisa menjadi amal baik, tapi bisa pula menjadi sebab dosa yang berlipat.

Kita sering tergoda untuk ikut serta dalam perdebatan yang tak perlu, menyebarkan berita tanpa verifikasi, bahkan mengolok-olok pihak lain.

Inilah bentuk “dosa digital” yang pelakunya sering tak merasa bersalah, karena tersembunyi di balik layar. Padahal dalam Al-Qur’an, Allah telah memperingatkan:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ۝٣٦

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”  (QS. Al-Isra: 36)

Waktu yang Terbuang atau Diberkahi

Salah satu akibat dari penggunaan media sosial yang tidak terkendali adalah waktu yang terbuang sia-sia.

Tanpa terasa, kita bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk menonton video pendek, membaca unggahan yang tak bermanfaat, atau sekadar menggulir layar tanpa arah. Padahal waktu adalah nikmat yang sangat berharga, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.”  (HR. Bukhari)

Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan dari hari-harimu. Bila satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu ikut pergi.”

Ini pengingat tajam bahwa waktu bukan sekadar jam yang berdetak, tapi bagian dari hidup kita yang takkan kembali.

Allah SWT pun menegaskan nilai waktu dalam Al-Qur’an:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Asr: 1–3)

Di sinilah pentingnya menyadari bahwa media sosial harus kita gunakan dengan sadar, terukur, dan bernilai. Jangan sampai kita menjadi bagian dari golongan yang merugi karena waktu kita habis tanpa amal.

Hati yang Terseret atau Terselamatkan

Era digital bukan hanya menguji aktivitas luar, tapi juga kondisi batin. Kita bisa tampak baik di layar, tapi sesungguhnya sedang dilanda iri, sombong, atau riya.

Gaya hidup pamer (show off) begitu mudah dipertontonkan di media sosial, bahkan sering kali dikemas dalam bingkai “berbagi kebaikan”.

Namun Al-Qur’an mengingatkan kita:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ ۝١٤٢

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (pamer) di hadapan manusia, dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”  (QS. An-Nisa: 142)

Banyak ahli psikologi, seperti Leon Festinger, menjelaskan konsep social comparison (perbandingan sosial) yang muncul akibat konsumsi media sosial.

Kita merasa rendah diri ketika melihat pencapaian orang lain, iri dengan hidup yang ditampilkan secara sempurna, dan akhirnya kehilangan rasa syukur atas nikmat yang kita punya.

Islam mengajarkan keseimbangan hati. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada yang di atasmu. Karena yang demikian itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Menjadi Muslim Bijak di Era Digital

Menjadi saleh di era digital bukanlah dengan menjauhi teknologi, tetapi dengan mengendalikannya. Media sosial adalah wasîlah (sarana), bukan ghâyah (tujuan).

Kita perlu menundukkan teknologi di bawah kendali nilai-nilai Islam, bukan membiarkan teknologi mendikte hidup kita.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۝٣٥

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.”  (QS. Al-Ma’idah: 35)

Wasilah di sini bisa berupa apa saja—termasuk media sosial—selama ia menjadi sarana yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan menjauh.

Pada akhirnya , di era digital, tiga hal paling rentan tergelincir adalah jari, waktu, dan hati.

Jika ketiganya tidak dijaga, maka kesalehan kita akan terkikis perlahan. Namun jika ketiganya diarahkan dengan benar—jari untuk menyebar kebaikan, waktu untuk amal saleh, dan hati untuk tetap jernih—maka media sosial pun bisa menjadi ladang pahala.

Kesalehan di era ini bukan hanya soal rajin ibadah fisik, tapi juga bagaimana kita mampu menjaga integritas diri di ruang maya.

Di sinilah kita dipanggil bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai hamba yang bertakwa di tengah tantangan zaman.(acank)

Example 120x600