ppmindonesia.com.Jakarta – Di setiap rumah Muslim, hampir selalu ada mushaf Al-Qur’an tersimpan rapi di rak tertinggi. Di bulan Ramadhan, suara lantunan ayat-ayatnya menggema dari masjid dan rumah-rumah, menenangkan jiwa, meneteskan air mata.
Namun, kita harus bertanya dengan jujur kepada diri sendiri: apakah Al-Qur’an benar-benar hadir dalam hidup kita, atau hanya menjadi simbol kesalehan yang tak menyentuh nurani?
Fenomena membaca Al-Qur’an tanpa memahami kandungannya telah menjadi kebiasaan turun-temurun di banyak kalangan Muslim. Anak-anak diajarkan tajwid sejak dini, dikejar agar segera khatam, namun sering kali mereka tumbuh dewasa tanpa pernah tahu apa isi pesan yang mereka lafalkan setiap hari.
Dalam masyarakat kita, sering kali membaca Al-Qur’an dipandang sebagai ibadah yang utama—padahal membaca tanpa mengerti bukanlah tujuan diturunkannya Kitab ini.
Allah Swt. mengingatkan:
لَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ كِتٰبًا فِيْهِ ذِكْرُكُمْۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَࣖ ١٠
“Kami telah turunkan kepadamu sebuah Kitab yang berisi peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al-Anbiya: 10)
Ayat ini merupakan teguran halus sekaligus ajakan tegas kepada siapa pun yang memegang Al-Qur’an tetapi tidak menggunakannya sebagai petunjuk hidup.
Kitab suci ini bukan sekadar bacaan suci, melainkan pedoman hidup yang Allah sebut sebagai “cahaya dan petunjuk yang jelas” (QS. Al-Ma’idah: 15–16). Tanpa memahami maknanya, manusia akan tetap berada dalam kegelapan meski mulutnya terus melafalkan ayat-ayat terang.
Antara Ritual dan Pemahaman
Cendekiawan Muslim kontemporer, Fazlur Rahman, pernah mengingatkan bahwa stagnasi umat Islam hari ini berakar dari kebiasaan menjadikan agama sebagai ritual formalistik tanpa ruh dan makna. “Al-Qur’an dijadikan objek kekaguman estetika, bukan sumber pemikiran dan tindakan,” katanya.
Hal ini selaras dengan kritik yang disampaikan oleh Malik Bennabi, seorang pemikir dari Aljazair, bahwa kebangkitan umat hanya mungkin terjadi jika mereka kembali menjadikan wahyu sebagai energi intelektual dan moral, bukan sekadar mantra pengusir duka.
Lantas, mengapa fenomena ini begitu masif? Mengapa banyak orang merasa cukup hanya dengan membaca atau mendengarkan lantunan ayat?
Jawabannya mungkin ada pada kecenderungan untuk merasa ‘aman’ dalam kebiasaan kolektif—mengikuti mayoritas, mengikuti guru, mengikuti tradisi, tanpa pernah benar-benar menguji apakah yang diikuti sejalan dengan isi Al-Qur’an.
Allah telah memperingatkan:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ ١١٦
“Jika kamu menaati kebanyakan orang-orang di bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, mereka hanya menduga-duga.” (QS. Al-An’am: 116)
Ketaatan buta, tanpa nalar, tanpa penghayatan terhadap Kitab Allah, justru menjadi sumber kesesatan yang berbahaya.
Apalagi ketika klaim-klaim keagamaan yang tidak bersumber langsung dari Al-Qur’an diikuti mentah-mentah, sementara Kitab Suci itu sendiri dikesampingkan.
Kewajiban Setiap Individu
Sebagian orang merasa bahwa memahami Al-Qur’an adalah urusan ulama dan cendekiawan, bukan tugas orang awam. Padahal, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada seluruh manusia, bukan hanya segelintir elite.
وَهٰذَا كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ مُبٰرَكٌ فَاتَّبِعُوْهُ وَاتَّقُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَۙ ١٥٥
“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkahi. Maka ikutilah dia, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-An’am: 155)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa penghayatan terhadap Al-Qur’an adalah inti dari ibadah.
Ia berkata, “Tidak ada bacaan yang lebih mulia daripada membaca Al-Qur’an, dan tidak ada yang lebih celaka daripada membaca Al-Qur’an tanpa paham dan tanpa amal.”
Bahkan Rasulullah Saw. pernah mengadu kepada Allah:
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا ٣٠
“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan.” (QS. Al-Furqan: 30)
Kita tentu tidak ingin menjadi bagian dari kaum yang diadukan Rasulullah karena mengabaikan Al-Qur’an, walaupun membacanya setiap hari.
Pengabaian itu bukan hanya berarti tidak membaca, tetapi juga tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber nilai, prinsip, dan arah hidup.
Membaca dengan Mata Hati
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan oleh setiap Muslim kepada dirinya adalah: Apakah saya pernah membaca seluruh Al-Qur’an dalam bahasa yang saya pahami?
Apakah saya mengenal pesan-pesan utamanya? Apakah keputusan hidup saya—dalam bekerja, berkeluarga, bersosial—diarahkan oleh nilai-nilai dari Kitab Allah?
Tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi utama dalam hidup, kita akan terseret arus kebiasaan sosial yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam.
Kita akan mudah tertipu oleh suara mayoritas dan opini publik, sebagaimana ditegaskan Allah:
اَمْ لَكُمْ كِتٰبٌ فِيْهِ تَدْرُسُوْنَۙ ٣٧
“Ataukah kamu mempunyai kitab lain yang kamu pelajari?” (QS. Al-Qalam: 37)
Kembali kepada Al-Qur’an tidak berarti menolak tradisi, menafikan otoritas ulama, atau merasa paling benar.
Kembali kepada Al-Qur’an berarti menempatkan wahyu sebagai kompas utama dalam memahami dunia dan menjalani hidup. Kita boleh belajar dari siapa pun, tapi tetap harus merujuk kepada Al-Qur’an untuk menimbang apakah yang kita ikuti benar-benar bersumber dari Allah.
Seruan untuk Kembali
Dalam dunia yang penuh kegaduhan spiritual, kebingungan moral, dan kekosongan makna, Al-Qur’an hadir bukan hanya sebagai bacaan, tetapi sebagai jawaban.
Ia adalah cahaya yang mampu menerangi jalan hidup manusia dari kegelapan ke terang, sebagaimana ditegaskan:
يَّهْدِيْ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ١٦
“Dengan Kitab itu Allah memberi petunjuk kepada siapa yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 16)
Mari jadikan Al-Qur’an bukan hanya bacaan bibir, tapi juga bacaan hati dan akal. Jangan puas hanya dengan tasbih lisan, mari teguhkan tasbih makna—kekaguman sejati kepada firman Allah yang diwujudkan dalam pemahaman, perubahan diri, dan amal nyata.(acank)
Catatan Redaksi: Artikel ini dimaksudkan sebagai seruan reflektif untuk umat Islam agar kembali menghayati isi Al-Qur’an secara langsung. Pandangan yang disampaikan bersifat terbuka untuk diskusi dan perenungan bersama.