Scroll untuk baca artikel
BeritaTeknologi

Menjadi Manusia di Tengah Layar: Mengelola Iri, Menjaga Diri

229
×

Menjadi Manusia di Tengah Layar: Mengelola Iri, Menjaga Diri

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com. Jakarta- Pagi itu, sebelum mata benar-benar terbuka sempurna, jari sudah lebih dulu menyentuh layar. Dalam hitungan detik, wajah teman lama muncul: senyum lebar di depan rumah baru. Lalu seorang influencer dengan liburannya di Eropa. Tak lama kemudian, notifikasi masuk: “Temanmu baru saja dipromosikan.”

Seperti gerimis yang tak terdengar, rasa iri perlahan menyusup. Bukan karena benci, tapi karena hati kecil berbisik, “Kapan aku bisa seperti itu?” Inilah kenyataan yang dihadapi jutaan orang setiap hari: hidup di tengah layar, di mana kehidupan orang lain terasa lebih cerah dari milik sendiri.

Iri di Era Digital: Sunyi Tapi Menggerogoti

Di masa lalu, iri hadir dalam jarak dekat—tetangga, kerabat, atau teman sekantor. Namun kini, kita bisa merasa iri kepada orang yang bahkan tak kita kenal secara pribadi. Lewat layar, kita menjadi penonton dari pertunjukan kebahagiaan yang nyaris tak henti: pernikahan indah, bisnis sukses, tubuh ideal, keluarga harmonis.

Dr. Melissa Hunt, psikolog dari University of Pennsylvania, menyebut fenomena ini sebagai “highlight reel effect”—ketika orang hanya membagikan momen terbaiknya, menciptakan ilusi bahwa hidup mereka sempurna.

Akibatnya, kita membandingkan realita kita yang penuh liku dengan versi editan kehidupan orang lain. Ini bukan hanya membuat kita lelah, tapi juga rentan pada ketidakpuasan, kecemasan, bahkan depresi.

Al-Qur’an dan Iri Hati: Penyakit Batin yang Perlu Diobati

Islam mengenal iri hati dengan istilah hasad, yaitu keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang. Dalam banyak ayat dan hadis, hasad disebut sebagai salah satu penyakit hati yang bisa membakar amal.

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۝١٩

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.”  (QS. Al-Hasyr: 19)

اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ…۝٥٤

“…..Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang Allah telah berikan kepadanya?….”  (QS. An-Nisa: 54)

Dalam ayat ini, hasad dikaitkan dengan ketidakmampuan menerima bahwa setiap manusia mendapat takdir dan nikmat yang berbeda dari Allah. Ini bukan sekadar emosi, tapi bentuk ketidaksyukuran yang dalam.

Rasulullah SAW juga bersabda:

“Jauhilah oleh kalian hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”  (HR. Abu Dawud)

Menjaga Diri: Dari Layar Kecil ke Hati yang Luas

Bagaimana agar kita tetap menjadi manusia yang utuh dan sehat di tengah banjir informasi dan pencitraan?

1. Sadari bahwa iri adalah sinyal, bukan identitas

Iri tidak menjadikan kita manusia buruk. Ia hanya sinyal bahwa ada kebutuhan dalam diri kita yang belum terpenuhi: mungkin pengakuan, pencapaian, atau rasa berharga. Sadari dan tangani secara sehat, bukan dengan membandingkan, tetapi dengan bertumbuh.

2. Latih syukur sebagai gaya hidup digital

Alih-alih langsung membuka media sosial, mulailah hari dengan menuliskan tiga hal yang patut disyukuri. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ۝٧

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”  (QS. Ibrahim: 7)

Syukur bukan hanya melindungi hati dari iri, tapi juga memperluas ruang bahagia dalam diri.

3. Konsumsi konten dengan kesadaran

Kita tak bisa mengontrol apa yang orang lain unggah, tapi kita bisa memilih apa yang kita lihat. Kurangi mengikuti akun yang membuatmu merasa rendah diri. Sebaliknya, ikuti yang menginspirasi tanpa menekan, yang mendidik tanpa menggurui.

4. Tumbuhkan niat baik: dari iri ke doa

Alihkan energi iri menjadi doa: “Ya Allah, berikan pula kebahagiaan yang sama untukku, tanpa mengurangi milik mereka.” Ini bukan kelemahan, melainkan bentuk kematangan spiritual.

Dalam Al-Qur’an, orang-orang beriman digambarkan sebagai mereka yang berdoa:

….. وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا…..۝١٠

“….Dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman….”  (QS. Al-Hasyr: 10)

Kembali Menjadi Manusia

Media sosial memang tak salah. Ia hanyalah cermin digital yang memperlihatkan potongan hidup manusia. Tapi kita tak harus kehilangan jati diri saat menatapnya. Menjadi manusia berarti menyadari emosi, mengelolanya, lalu kembali pada ketenangan.

Di tengah layar yang terus menyala, mari tetap jaga cahaya di dalam hati. Sebab yang menjadikan kita bernilai bukanlah angka di profil, tapi bagaimana kita menjaga niat dan amal di hadapan Allah.(acank)

Example 120x600