Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Cinta Kasih Itu Universal: Renungan atas Fanatisme yang Salah Arah

188
×

Cinta Kasih Itu Universal: Renungan atas Fanatisme yang Salah Arah

Share this article

Penulis : emha | Editor : asyary

Ilustrasi merpati sebagai simbol cinta kasih (foto freepik.com)

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah dunia yang semakin terhubung secara digital namun tercerai secara emosional, kita menyaksikan paradoks mencolok: atas nama agama, bangsa, atau identitas, sebagian manusia tega menyakiti sesamanya. 

Fanatisme—yang seharusnya berarti keteguhan dalam keyakinan—berubah menjadi ketertutupan, arogansi moral, dan bahkan kekerasan.

Namun, di mana cinta kasih dalam semua itu? Bukankah cinta adalah inti dari semua agama?

Cinta: Inti Ajaran Ilahi

Al-Qur’an tidak memulai dengan ancaman, tapi dengan kelembutan: Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm—dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ini bukan sekadar pembukaan, melainkan pesan bahwa seluruh hidup manusia harus dimulai, dijalani, dan diakhiri dengan kasih sayang.

Dalam QS. Al-Anbiya [21]:107, Allah menegaskan misi kenabian Muhammad:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ۝١٠٧

 “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

“Rahmat” adalah bentuk cinta kasih yang melampaui batas keagamaan dan suku bangsa. Rasulullah bukan hanya utusan bagi umat Islam, tapi rahmat lil ‘ālamīn—seluruh alam.

Cinta Kasih Itu Universal

Cinta tidak mengenal sekat. Seperti udara, ia mengalir ke segala arah, menyapa siapa saja yang membuka hati. 

Kita bisa menemukannya dalam pelukan seorang ibu, perhatian seorang sahabat, bahkan dalam aksi-aksi kemanusiaan dari mereka yang tak pernah menyebut nama Tuhan.

Karen Armstrong, sejarawan agama dunia, mengatakan dalam bukunya The Spiral Staircase:

 “Semua agama besar memanggil kita untuk menumbuhkan belas kasih: untuk mencintai orang lain, bukan hanya anggota kelompok kita sendiri, tapi juga orang asing, bahkan musuh.”

Ini adalah cinta yang tidak pilih-pilih. Bukan hanya untuk mereka yang “seiman”, tapi juga untuk mereka yang berbeda bahkan bertentangan.

Inilah cinta yang berani: cinta yang tidak dibatasi tembok ideologi atau label agama.

Ketika Fanatisme Mengaburkan Cinta

Sayangnya, cinta yang sejatinya universal itu sering dikerdilkan oleh fanatisme sempit. Fanatisme menjadikan agama sebagai identitas eksklusif, bukan ruang penyembuhan dan kasih.

Ia melahirkan bahasa “kami dan mereka”, “kafir dan beriman”, “halal dan haram”—bukan sebagai panduan moral, tetapi sebagai alat diskriminasi dan penghakiman.

Padahal, dalam QS. Al-Mumtahanah [60]:8, Allah berfirman:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ۝٨

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Ayat ini membongkar narasi kebencian yang sering dikaitkan dengan perbedaan agama. Ia menegaskan bahwa kebaikan dan keadilan tidak eksklusif untuk umat Islam, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Menjadi Cinta Itu Sendiri

Renungan dari banyak tokoh spiritual sepakat: cinta bukan sekadar ajaran, tapi jalan hidup. Jalaluddin Rumi pernah menulis:

 “Agamaku adalah cinta. Setiap hati yang penuh cinta adalah tempat sujudku.”

Pandangan ini bukan berarti menafikan syariat, tetapi menempatkannya dalam kerangka yang lebih agung: bahwa syariat tanpa cinta adalah kering, dan cinta tanpa kebajikan adalah rapuh. 

Maka agama yang benar adalah agama yang membimbing manusia menuju kasih, bukan permusuhan.

Kembali ke Ruh Agama

Kini, pertanyaan penting yang perlu kita ajukan adalah: apakah kita masih menaruh cinta dalam beragama, atau hanya menjadikan agama sebagai label dan perisai untuk menutup diri?

Cinta kasih adalah jalan paling tua, paling jujur, dan paling universal untuk membangun kemanusiaan. 

Jika kita gagal merawat cinta itu dalam diri, maka apa pun agama kita, kita telah kehilangan inti dari agama itu sendiri.

Semoga kita tak hanya menjadi pengikut agama, tapi juga pewaris cinta yang menjadi ruhnya.(emha)

 

Example 120x600