ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah euforia politik pasca-Pemilu 2024, satu isu yang terus mencuat dalam diskursus publik adalah target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Pemerintah baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan visi besar: Indonesia tumbuh 8% per tahun dalam beberapa tahun ke depan. Namun, ketika angka target menjadi janji politik, pertaruhannya bukan hanya soal capaian makroekonomi—tetapi juga soal kepercayaan publik.
Angka yang Menggoda, Realitas yang Kompleks
Target pertumbuhan ekonomi 8% bukanlah hal baru dalam wacana pembangunan nasional. Pada era Presiden SBY, angka ini sempat dijadikan ambisi, tetapi tak kunjung tercapai secara konsisten. Kini, target serupa kembali digaungkan di tengah tantangan struktural dan ketidakpastian global.
Sementara itu, lembaga seperti IMF dan World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 4,7% hingga 5,1% pada 2025. Perbedaan antara target domestik dan proyeksi internasional ini menciptakan ruang skeptisisme, terutama di kalangan pelaku pasar dan masyarakat akademik.
Kepercayaan Publik: Modal Sosial yang Rawan Terkikis
Dalam ekonomi modern, pertumbuhan tidak hanya digerakkan oleh investasi dan konsumsi, tetapi juga oleh kepercayaan. Baik investor domestik maupun asing sangat sensitif terhadap sinyal dari pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan target ambisius tanpa roadmap yang konkret, pasar akan merespons dengan hati-hati—bahkan sinis.
Bagi masyarakat, target ekonomi yang terlalu tinggi tanpa pencapaian yang nyata bisa menjadi bumerang. Jika janji-janji pembangunan tidak terealisasi, rasa frustrasi akan tumbuh dan dapat berdampak pada stabilitas sosial-politik jangka panjang.
Agenda Reformasi Ekonomi yang Mendesak
Jika target tinggi ingin dicapai dengan kredibel, maka pemerintah harus segera melakukan reformasi mendalam:
- Reformasi fiskal: memperluas basis pajak, mengurangi pemborosan anggaran, dan meningkatkan kualitas belanja negara.
- Penyederhanaan regulasi: menciptakan iklim usaha yang lebih ramah, cepat, dan pasti.
- Pemberdayaan UMKM dan sektor informal: meningkatkan kontribusi sektor ekonomi rakyat agar tidak hanya segelintir kelompok yang menikmati pertumbuhan.
- Investasi pada SDM dan teknologi: agar produktivitas meningkat, tidak sekadar konsumsi yang tumbuh.
Tanpa perbaikan fundamental ini, target 8% hanya akan menjadi angka di atas kertas. Bahkan lebih buruk, bisa menjadi sumber kegagalan yang memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Transparansi dan Komunikasi: Kunci Kepercayaan
Pemerintah perlu transparan dalam menyampaikan asumsi dasar dari target-target ekonomi. Masyarakat dan pelaku usaha ingin tahu: dari sektor mana pertumbuhan itu akan digenjot? Apa kebijakan utama yang akan dilakukan? Apa indikator keberhasilannya?
Konsistensi komunikasi dan pelibatan publik dalam proses perumusan kebijakan menjadi penting. Sebab, dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang, publik bukan hanya penerima janji, tetapi juga aktor kritis yang bisa menilai kredibilitas pemerintah.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, “Pemerintah harus mulai membangun komunikasi ekonomi yang berbasis data, bukan narasi kosong. Rakyat sekarang lebih cerdas dan bisa membedakan mana optimisme yang rasional, dan mana sekadar retorika.”
Target Tinggi, Tapi Jangan Abaikan Realitas
Target pertumbuhan 8% sah-sah saja sebagai aspirasi. Namun, menjadikannya narasi utama tanpa strategi yang matang dan terukur justru berisiko menggoyahkan fondasi kepercayaan yang sudah dibangun. Dalam konteks demokrasi dan ekonomi terbuka, kepercayaan publik adalah mata uang yang nilainya sangat tinggi.
Ia tidak bisa dicetak sesuka hati, tapi harus diperoleh lewat kerja nyata dan konsistensi.
Ke depan, bukan hanya angka yang penting, tapi proses, transparansi, dan kejujuran dalam menyampaikan tantangan dan capaian. Karena ketika target ekonomi menjadi pertaruhan kepercayaan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pemerintah, tetapi juga masa depan bangsa.(acank)