Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Dari Iqra’ ke AI: Membaca dengan Nur Ilmu dan Akal

172
×

Dari Iqra’ ke AI: Membaca dengan Nur Ilmu dan Akal

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta- Dalam perjalanan sejarah manusia, perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah perintah berperang, bukan pula perintah beribadah secara ritual, melainkan satu kata yang mengguncang kesadaran dan membuka peradaban: Iqra’!”Bacalah!

Namun, seiring berjalannya waktu, pemahaman terhadap perintah ini menyusut menjadi sempit. Banyak kaum muslimin yang memahami “Iqra’” sebatas kegiatan membaca teks, padahal cakupannya jauh lebih luas: membaca realitas, memahami tanda-tanda alam, menelaah kehidupan, dan meresapi ayat-ayat Tuhan dalam semesta ini.

Lebih jauh lagi, sebagian besar umat Islam justru merasa bangga dengan narasi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “ummiy” dalam arti buta huruf. Mereka memahaminya sebagai mukjizat: orang yang tidak bisa membaca atau menulis, tetapi dapat mengajarkan Al-Qur’an. Ironisnya, pemaknaan ini telah mengerdilkan sosok Rasul yang sesungguhnya cemerlang dalam akhlak, kecerdasan sosial, dan kemampuan bernalar.

Logika Iqra’ dan Etika Wahyu

Jika kita menelaah lebih dalam, mustahil Muhammad sang Al-Amin—yang sukses dalam dunia niaga, dipercaya menjadi juru damai dalam konflik Ka’bah, dan memimpin Hilful Fudhul—tidak memiliki kemampuan membaca secara fungsional dan intelektual.

Dalam peristiwa turunnya wahyu pertama, saat Jibril menyampaikan perintah “Iqra’!”, Rasulullah menjawab, “Mā ana biqāri’.” Banyak yang menerjemahkan ini sebagai “Aku tidak bisa membaca.

” Namun secara tata bahasa Arab, frasa itu dapat bermakna lain: “Apa yang harus aku baca?” atau “Bagaimana aku harus membaca?” Jika “mā” di sini dimaknai sebagai ism maushul (kata tanya/kata penghubung), maka jawaban Nabi bukanlah bentuk ketidaktahuan, melainkan sebuah etika intelektual dalam menerima wahyu—tidak gegabah, tidak sembarang mengklaim tahu, melainkan menunggu petunjuk lebih lanjut dari Tuhan.

Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Najm:3-4:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ۝٣اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ۝٤


“Dan dia tidak berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”

Dengan kata lain, Rasul tidak menjawab berdasarkan nalar pribadi, melainkan menanti jawaban dari langit. Maka, dalam riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah, jawaban terhadap “Iqra’” itu adalah “Bismillāhir-Rahmānir-Rahīm”—sebuah pengakuan spiritual, penempatan diri sebagai hamba, dan permulaan ilmu dengan nama Tuhan.

Iqra’ sebagai Metodologi Membaca Realitas

Dalam akar katanya, “Iqra’” bukan hanya berarti “membaca secara tekstual”, tetapi juga bisa berarti membawa, mengumpulkan, menelaah, dan mengucapkan isi bacaan. Ini adalah proses epistemologis: membaca, mengolah, menyampaikan, dan menempatkan bacaan itu dalam akal dan amal.

Dalam perspektif ini, membaca bukanlah aktivitas pasif, melainkan tindakan intelektual dan spiritual. Maka tak heran, Islam tumbuh sebagai peradaban ilmu yang melahirkan para ilmuwan, filsuf, dan penjelajah—karena semua itu bersumber dari satu perintah: Iqra’.

Dari Iqra’ ke Era AI

Hari ini, kita hidup di zaman di mana membaca telah berevolusi. Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) mampu membaca data dalam jumlah besar, memahami pola, bahkan menghasilkan tulisan dan analisis. Secara teknis, AI melampaui kemampuan manusia dalam hal kecepatan dan akurasi.

Namun, ada satu hal yang tetap tidak bisa digantikan oleh mesin: nur ilmu dan akal yang berlandaskan nilai ilahiyah.
Kecanggihan AI seharusnya mendorong manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap cara membaca—tidak hanya membaca teks, tapi juga konteks, etika, dan hikmah di balik data. AI bisa menjadi alat, tetapi manusialah yang menentukan arah dan tujuannya.

Perintah “Iqra’” adalah panggilan abadi: untuk tidak berhenti bertanya, tidak berhenti memahami, dan tidak berhenti menyandarkan ilmu kepada Allah. Dari “Bismillah” kita memulai, dan dengan akal serta nurani kita menempatkan ilmu pada tempatnya.

Menjadi Umat Pembaca yang Merdeka

Kini saatnya kaum muslimin bangkit dari pembacaan yang kaku dan simbolik menuju pembacaan yang kritis dan spiritual. Kita tak bisa membanggakan ketidaktahuan. Umat Islam harus menjadi umat pembaca—yang mampu membaca dengan akal yang sehat, dengan nur yang bersumber dari wahyu, dan dengan kecerdasan yang membumi.

Karena pada akhirnya, Iqra’ bukan sekadar perintah pertama—tapi fondasi peradaban. Dan AI bukan ancaman, melainkan tantangan baru agar kita kembali bertanya: “Bagaimana seharusnya kita membaca dunia dengan nama Tuhan kita yang menciptakan?”(emha)

Example 120x600