ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah musim kemarau yang panjang, tanah membelah dan menghitam. Permukaannya keras dan sunyi, seolah tak ada kehidupan yang tersisa di dalamnya.
Namun ketika hujan pertama menimpa bumi, sebuah keajaiban perlahan dimulai: permukaan tanah yang semula tandus mulai bergolak, mengembang, dan dalam hitungan hari, tunas-tunas hijau memecah sunyi.
Inilah salah satu isyarat terhalus dari kebesaran Allah yang dituliskan dalam Al-Qur’an.
…وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ ۢ بَهِيْجٍ ٥
“…maka engkau melihat bumi itu kering kerontang, tetapi apabila Kami turunkan air kepadanya, niscaya bumi itu bergerak dan mengembang, lalu menumbuhkan segala jenis tumbuh-tumbuhan yang indah secara berpasangan.” (QS. Al-Hajj: 5)
Hujan: Pemantik Kehidupan dan Tanda Tasbih Alam
Dalam tafsirnya, Imam Fakhruddin Ar-Razi menyebut ayat ini sebagai salah satu bentuk isyarat kepada “tajaddudul hayat” (pembaruan kehidupan).
Air hujan tidak hanya memberi kesegaran jasmani, tapi juga membangunkan bumi dari ‘tidur panjangnya’. Tanah yang semula mati ternyata tidak benar-benar mati; ia hanya menunggu perintah-Nya untuk kembali bertasbih—memulai siklus kehidupan baru.
Dalam pandangan tafsir kontemporer, Muhammad Asad menyebut fenomena ini sebagai “kebangkitan yang tersirat” (symbolic resurrection).
Artinya, Allah sedang menunjukkan kepada manusia bahwa kebangkitan setelah kematian bukanlah hal mustahil. Bukankah kita menyaksikannya setiap musim hujan?
وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ ٢٠وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ ٢١
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Az-Zariyat: 20–21)
Ketika Tanah Bergerak: Sains Mengamini Wahyu
Dari perspektif ilmiah, proses hidupnya tanah bukanlah hal sederhana. Ketika hujan jatuh, air meresap ke dalam lapisan tanah dan membangunkan mikroorganisme yang selama musim kemarau berada dalam kondisi dorman.
Para ahli biologi tanah mencatat bahwa dalam satu gram tanah yang sehat, bisa terdapat hingga 10 miliar mikroorganisme, termasuk bakteri, jamur, dan protozoa. Mereka adalah aktor-aktor tak terlihat yang menghidupkan kembali siklus unsur hara.
Fenomena “getaran tanah” yang disebut dalam ayat ini juga telah lama menarik perhatian ilmuwan. Gerakan ini secara mikroskopis dikenal sebagai Brownian motion—yakni pergerakan partikel-partikel tanah akibat tumbukan molekul air.
Robert Brown, ahli botani asal Skotlandia, pertama kali mencatat fenomena ini pada tahun 1827. Tapi jauh sebelumnya, Al-Qur’an telah mengisyaratkan adanya ihtizzat—getaran pada tanah saat tersentuh air.
Berpasangan: Tanda Kesempurnaan dan Keseimbangan
Al-Qur’an juga menyebut bahwa tumbuhan tumbuh “secara berpasangan”. Ini bukan sekadar kiasan, melainkan kenyataan ilmiah.
Dalam dunia botani, reproduksi tanaman hampir selalu melibatkan unsur jantan dan betina, bahkan pada tanaman yang tampak netral secara kasatmata.
Konsep pasangan ini—baik pada tanaman, hewan, hingga manusia—merupakan prinsip keseimbangan yang mengatur alam.
Dalam buku The Tao of Islam, Nasr Seyyed Hossein menjelaskan bahwa konsep pasangan dalam Qur’an mengandung nilai kosmis dan spiritual, yaitu bahwa segala sesuatu diciptakan saling melengkapi, dalam harmoni yang menunjuk pada Ke-Esa-an Tuhan.
Ketika tanah menumbuhkan kehidupan berpasangan, sesungguhnya ia sedang meneguhkan ayat-ayat penciptaan.
Tanah, Kehidupan, dan Kebangkitan: Sebuah Analog Abadi
Mengapa Al-Qur’an berulang kali mengingatkan manusia tentang hidupnya tanah setelah mati? Karena tanah adalah analog dari manusia itu sendiri.
Kita diciptakan dari tanah, hidup di atas tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Maka, ketika tanah yang mati dapat hidup kembali, begitu pula manusia yang mati akan dibangkitkan oleh kekuasaan yang sama.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنَّكَ تَرَى الْاَرْضَ خَاشِعَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْۗ اِنَّ الَّذِيْٓ اَحْيَاهَا لَمُحْيِ الْمَوْتٰىۗ اِنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ٣٩
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah bahwa engkau melihat bumi itu kering, lalu apabila Kami turunkan air kepadanya, niscaya bumi itu bergerak dan mengembang. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, benar-benar akan menghidupkan orang-orang yang telah mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”(QS. Fussilat: 39)
Tasbih Sunyi Tanah dan Kesadaran Manusia
Sebagian mufasir seperti Al-Alusi dan Ath-Thabari menafsirkan gerakan tanah ini sebagai bentuk tasbih diam—yakni pujian makhluk-makhluk Allah tanpa kata, tetapi nyata melalui fungsi dan keindahannya.
Tanah bertasbih dengan menumbuhkan. Air bertasbih dengan menghidupkan. Biji bertasbih dengan bertunas.
Maka, manusia yang menyaksikan semuanya, mestinya juga turut bertasbih dengan merenung dan bersyukur.
Mungkin inilah sebabnya, setiap musim hujan bukan sekadar fenomena cuaca, tetapi juga momentum spiritual.
Di dalamnya tersimpan pesan-pesan keimanan, perenungan, dan pengingat bahwa kehidupan tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu waktu untuk bangkit kembali atas izin Sang Maha Hidup.
Tanah memang tidak berbicara, namun ia bertasbih. Hujan memang turun diam-diam, tapi ia membawa pesan kehidupan. Dan manusia, yang hidup di atas keduanya, seharusnya tidak menjadi makhluk yang lalai.
Sebab, dari tanah yang bertasbih dan air yang menetes, Allah mengajarkan kita tentang asal mula, kehidupan, dan kebangkitan.
Bukan hanya tumbuhan yang bertunas setelah hujan. Harusnya, hati kita juga—agar tidak mati di tengah musim yang panjang.(acank)