ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam sejarah peradaban, agama telah menjadi sumber inspirasi sekaligus legitimasi. Ia bisa membebaskan manusia dari belenggu penindasan, tetapi juga bisa dikendalikan oleh ambisi manusia untuk melanggengkan kekuasaan.
Di sinilah pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai cermin bening yang mampu membedakan antara ketaatan yang sejati dan kepalsuan yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama.
Al-Qur’an tidak sekadar menuntun manusia pada bentuk-bentuk ritual, tapi lebih dalam lagi, ia membongkar kemunafikan, menantang ketundukan semu, dan menyuarakan keadilan yang melampaui kepentingan golongan. Kitab ini bukan hanya kitab ibadah, tetapi juga kitab kritik sosial dan nurani.
Ketaatan yang Diuji, Kepalsuan yang Dibongkar
Sejak awal, Al-Qur’an tidak membiarkan agama menjadi topeng. Bahkan dalam konteks umat Islam sendiri, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ ٨
“Di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8)
Ayat ini mengajarkan bahwa iman tidak cukup di mulut, tetapi harus diwujudkan dalam kesadaran dan perbuatan.
Banyak orang mengira dirinya taat karena rajin beribadah, namun tetap melakukan ketidakadilan, memperalat agama untuk keuntungan diri, atau membenarkan penindasan atas nama syariat. Inilah yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai agama yang dibajak hawa nafsu.
Rasulullah Saw. sendiri pernah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad) –
ini adalah isyarat bahwa ibadah tanpa kejujuran batin dan keadilan sosial hanyalah formalitas kosong.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam asal Pakistan, menyatakan bahwa krisis umat Islam bukan pada kekurangan ibadah, tetapi pada keterputusan antara ibadah dan transformasi sosial. “Al-Qur’an menuntut keadilan, bukan sekadar kekhusyukan ritual,” ujarnya dalam Islam and Modernity.
Agama dalam Cermin Kritik Al-Qur’an
Salah satu kekuatan Al-Qur’an adalah keberaniannya mengkritik struktur sosial, elite agama, dan bahkan komunitas beriman sendiri jika mereka menyimpang dari prinsip tauhid dan keadilan. Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menyingkap praktik keagamaan yang telah kehilangan ruhnya. Misalnya dalam QS. Al-Ma’un, Allah mengecam orang yang mengerjakan salat:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ٤الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ٥الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ٦
“Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, dan orang-orang yang berbuat riya.”
(QS. Al-Ma’un: 4–6)
Salat—sebagai ibadah utama dalam Islam—tidak otomatis mulia jika dilakukan tanpa kesadaran sosial dan tanpa kemurnian hati.
Agama dalam pandangan Al-Qur’an bukanlah rangkaian seremoni, tetapi komitmen terhadap misi pembebasan dan kemanusiaan.
Malik Bennabi, seorang pemikir dari Aljazair, menegaskan bahwa peradaban Islam mengalami kemunduran justru karena “spiritualisme yang kehilangan roh”. Ia menyebut ini sebagai religi tanpa ruhaniyah, yakni ketika simbol agama tetap dijaga, tapi nilai-nilainya ditinggalkan.
Antara Kesalehan Pribadi dan Kepalsuan Struktural
Hari ini, kita melihat kontradiksi mencolok dalam realitas umat Islam: masjid semakin megah, hafalan Al-Qur’an semakin banyak, tetapi korupsi tetap merajalela, kemiskinan dibiarkan, dan agama digunakan untuk membungkam kritik.
Apakah ini bentuk ketaatan sejati atau kepalsuan yang sudah membudaya?
Allah mengingatkan dalam QS. Al-Hadid:
اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ ١٦
“Tidakkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (Al-Qur’an), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diberi Kitab sebelumnya, lalu berlalu waktu yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.Banyak di antara mereka adalah orang orang fasik”
(QS. Al-Hadid: 16)
Ayat ini menyiratkan bahwa kerasnya hati bisa terjadi dalam masyarakat beragama ketika kebenaran hanya dijadikan slogan, bukan fondasi perilaku.
Syaikh Muhammad Abduh pernah mengatakan:
“Aku melihat Islam di Eropa, tapi tidak melihat Muslim. Aku melihat Muslim di Timur, tapi tidak melihat Islam.”
Ungkapan ini bukan merendahkan, tapi menggambarkan keprihatinan terhadap jarak antara ajaran agama dan praktik sosial.
Kembali ke Al-Qur’an: Menjernihkan Agama dari Kepalsuan
Seruan kembali ke Al-Qur’an bukanlah jargon sempit atau gerakan tekstualis. Justru, kembali ke Al-Qur’an berarti memeriksa ulang orientasi dan motivasi keagamaan kita: apakah kita beragama karena cinta kepada kebenaran dan keadilan, atau karena ingin terlihat taat di mata manusia?
Al-Qur’an sendiri bersifat inklusif, rasional, dan kritis. Ia menantang otoritas keagamaan yang menyesatkan, dan memberi ruang bagi akal dan hati untuk menimbang setiap ajaran. Allah menegaskan:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ١٧٠
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan tetap mengikuti walau nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?”
(QS. Al-Baqarah: 170)
Ayat ini menyingkap wabah taqlid buta yang masih menjangkiti umat hingga hari ini—ketika tradisi dianggap lebih tinggi dari Kitabullah, dan suara golongan lebih dipercaya daripada petunjuk Allah.
Agama yang Membebaskan
Agama dalam pandangan Al-Qur’an bukan untuk mempersempit hidup, bukan pula untuk mengikat manusia pada rasa takut dan rasa bersalah yang abadi.
Sebaliknya, agama adalah jalan menuju pembebasan batin, keadilan sosial, dan peradaban yang beradab.
Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah agama yang kita jalani benar-benar membawa kita lebih jujur, lebih adil, dan lebih peduli?
Ataukah hanya membuat kita merasa paling benar dan menutup telinga dari kebenaran lain?
Agama yang sejati adalah yang menumbuhkan kasih sayang, memperjuangkan kebenaran, dan menolak segala bentuk kebatilan—termasuk kebatilan yang dibungkus dalil-dalil suci.
Mari bercermin pada Al-Qur’an, agar kita tak terjebak dalam ketaatan palsu yang justru menjauhkan kita dari Tuhan.
…اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ…. ١٣
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13) (emha)