ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah sorotan terhadap efektivitas bantuan sosial dan program pemberdayaan desa, pemerintah meluncurkan kebijakan yang berbeda arah: Koperasi Desa Merah Putih.
Program ini menawarkan plafon pinjaman produktif sebesar Rp 3 miliar untuk setiap desa atau kelurahan, namun dengan satu syarat utama—ini bukan bantuan, melainkan pinjaman yang harus dikembalikan.
“Dulu modal diberikan langsung dan habis. Sekarang, ini adalah bisnis dan usaha,” ujar Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 16 Mei 2025.
Dalam program ini, koperasi tidak diberikan uang secara cuma-cuma, melainkan akses kredit melalui bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), dengan tenor pengembalian selama enam tahun.
Bagi pemerintah, pendekatan ini menandai babak baru dalam upaya pembangunan ekonomi desa. Namun, bagaimana para ahli melihat strategi ini?
Pendekatan Berbasis Tanggung Jawab
Menurut Dr. Erna Wati, pakar ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada, pendekatan pinjaman seperti ini sangat relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
“Model pinjaman, bukan hibah, mendorong tanggung jawab, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan desa. Ini juga memberi sinyal bahwa negara mempercayai kapasitas masyarakat desa sebagai pelaku ekonomi,” ujarnya saat dihubungi oleh redaksi.
Dr. Erna menambahkan bahwa selama ini banyak program bantuan yang berakhir tanpa hasil karena sifatnya konsumtif dan tidak berbasis usaha. “Kalau koperasi ini dikelola dengan baik, dia bisa jadi jangkar ekonomi lokal. Tapi ya, kuncinya di kapasitas SDM dan pendampingan yang kuat.”
Enam Fungsi Ekonomi, Satu Visi Kemandirian
Koperasi Desa Merah Putih dirancang tidak hanya sebagai wadah simpan pinjam, tetapi juga sebagai pusat distribusi dan layanan ekonomi masyarakat desa. Ada enam fungsi utama yang dijalankan koperasi ini:
- Memotong rantai pasok sembako dari produsen langsung ke warga.
- Menjadi agen distribusi LPG 3 kg.
- Menyediakan alat dan mesin pertanian (alsintan).
- Mengelola gudang dan penyewaan peralatan tani.
- Menjadi agen BRILink dan BNI.
- Menyalurkan KUR berbunga ringan dan menjadi mitra Bulog dalam pembelian gabah dan jagung.
Tidak berhenti di situ, koperasi juga bisa membuka apotek atau layanan kesehatan ringan, menjawab kebutuhan dasar warga tanpa harus pergi ke kota.
Peran Desa dan Pendamping Profesional
Pembentukan koperasi dilakukan atas inisiatif pemerintah desa, baik melalui pembentukan koperasi baru atau konsolidasi koperasi lama.
Kepala desa ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas secara ex-officio, sementara pemerintah pusat akan mengirimkan dua hingga tiga tenaga pendamping ke setiap koperasi.
Bagi Ahmad Faizal, pegiat pemberdayaan desa dari LSM Mitra Tani Sejahtera, model ini membawa harapan baru, selama prosesnya benar-benar didampingi.
“Banyak desa yang punya potensi besar tapi tidak tahu bagaimana mengelolanya. Pendamping itu harus lebih dari sekadar administrasi. Mereka harus jadi mitra strategis, pembimbing bisnis, dan jembatan ke dunia keuangan,” jelasnya.
Memutus Rantai Tengkulak dan Rentenir
Salah satu tujuan utama program ini adalah menghapus peran tengkulak dan rentenir di desa. Koperasi, dengan akses langsung ke produsen dan perbankan, menjadi alternatif yang jauh lebih adil dan terjangkau bagi petani dan pelaku usaha kecil.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi tentang struktur ekonomi yang adil,” kata Dr. Erna. “Kalau koperasi bisa menjadi pusat distribusi dan pembiayaan, desa tidak akan lagi tergantung pada pihak luar yang selama ini mengambil margin terbesar.”
Ujian Nyata Ada di Lapangan
Kendati gagasan ini mendapat sambutan positif, tantangan nyata akan muncul dalam implementasinya. Mulai dari kesiapan koperasi, literasi keuangan, hingga pengawasan dan transparansi penggunaan dana.
Namun demikian, semangat baru telah ditegakkan. Dengan skema bisnis berbasis pinjaman, desa didorong untuk tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi subjek ekonomi yang berdaya, mandiri, dan terorganisasi.
“Ini langkah maju. Tapi mari kita jaga agar tidak menjadi sekadar proyek,” tutup Ahmad Faizal. “Karena koperasi bukan soal proposal dan pinjaman, tapi tentang kepercayaan dan kerja kolektif masyarakat desa.” (acank)