Nabi Muhammad dan Etika Intelektual Wahyu: Sebuah Tafsir Modern
ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam sejarah intelektual manusia, tidak ada peristiwa yang lebih monumental daripada momen ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di Gua Hira. Sebuah momen sunyi, jauh dari keramaian Mekkah, namun mengguncang struktur epistemik dunia—baik dunia pagan Arab maupun dunia ilmu dan agama secara keseluruhan.
Wahyu pertama itu datang bukan dengan perintah untuk percaya, tunduk, atau menyerah, tetapi justru “Iqra’”—bacalah. Di sinilah letak peristiwa intelektual yang sangat revolusioner: wahyu agama justru dimulai dengan perintah untuk membaca, bukan menyembah.
Tapi Nabi tidak langsung menjawab dengan spontanitas: beliau menjawab dengan penundaan dan kerendahan hati, “Ma ana biqāri’.”
Selama ini, kalimat itu diartikan sebagai penolakan harfiah: “Aku tidak bisa membaca.” Namun dalam pendekatan tafsir modern, kita bisa mengajukan pemahaman baru bahwa Nabi sedang menampilkan etika intelektual wahyu—yaitu sikap epistemologis terhadap ilmu, kebenaran, dan otoritas ilahiah. Bahwa Nabi tidak menyikapi wahyu dengan sikap spekulatif atau buru-buru menjawab perintah Tuhan tanpa bimbingan-Nya.
Membaca Bukan Sekadar Literasi
Dalam budaya ilmu Islam, membaca (iqra’) bukanlah sekadar aktivitas mengenal huruf dan kata. Membaca adalah proses tafakur (merenung), taaqqul (berlogika), dan tabassur (menyadari).
Maka ketika Nabi menjawab, “Ma ana biqari’,” itu bisa dibaca ulang sebagai, “Apa yang harus aku baca?” atau “Bagaimana cara aku membaca?”. Kalimat ini bukan penolakan kemampuan teknis, tetapi justru ekspresi adab terhadap ilmu—tidak ingin berbicara tanpa petunjuk.
Dalam perspektif ini, Nabi Muhammad adalah representasi sempurna dari etika intelektual wahyu: tidak berbicara kecuali atas dasar petunjuk, sebagaimana ditegaskan dalam QS An-Najm ayat 3–4: “Dan dia tidak berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
Wahyu yang Menjawab Wahyu
Ketika perintah “Bacalah” disampaikan, jawaban wahyunya pun muncul: “Bismi Rabbika alladzi khalaq.” Maka lengkaplah mekanisme etika dalam proses intelektual Islam. Membaca tidak dilakukan dengan liar, tidak pula atas kehendak diri, tetapi dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
Ini bukan sekadar perintah membaca, tetapi perintah untuk menyucikan niat intelektual, menundukkan ego epistemik, dan memulai segala pencarian ilmu atas nama yang Maha Mencipta.
Etika intelektual wahyu dalam hal ini menuntut bahwa ilmu harus disandarkan pada nilai, dan pencarian kebenaran harus selalu disertai kesadaran bahwa kebenaran sejati adalah milik Tuhan, bukan milik nalar atau otoritas manusia semata.
Nabi Muhammad sebagai Figur Intelektual Transenden
Sering kali kita memahami Nabi Muhammad semata sebagai pemimpin spiritual, rasul pembawa syariat, atau teladan moral. Namun dalam wahyu pertama, yang tampak justru adalah Nabi sebagai subjek epistemik—ia bukan hanya menyampaikan wahyu, tetapi memperagakan sikap terhadap ilmu dan kebenaran.
Beliau tidak menjawab perintah membaca dengan asumsi. Beliau menunggu, menyimak, dan baru bertindak setelah wahyu kedua turun. Inilah bentuk keteladanan yang luar biasa dalam dunia modern, di mana opini cepat dan impulsif lebih dihargai ketimbang kehati-hatian epistemik.
Maka Nabi bukan hanya guru moral, tetapi juga pendidik peradaban, yang mengajarkan bagaimana manusia seharusnya mendekati pengetahuan, berbicara tentang Tuhan, dan menjalankan intelektualitas tanpa menanggalkan adab.
Etika Intelektual di Era Kecerdasan Buatan
Hari ini, kita hidup di era pasca-fakta (post-truth), di mana kebenaran dikaburkan oleh narasi, dan ilmu pengetahuan dibajak oleh kepentingan. Ironisnya, kita justru membutuhkan kembali etika intelektual wahyu sebagaimana yang diperagakan oleh Nabi Muhammad: membaca dengan adab, bersuara dengan pertanggungjawaban, dan berpikir dengan kesadaran ketuhanan.
Kecanggihan artificial intelligence (AI) hari ini membuka tantangan baru: manusia bisa membaca data dalam jumlah tak terbatas, tapi tak mampu membedakan mana yang bermakna dan mana yang sia-sia. Di sinilah peran “Bismi Rabbika” menjadi fondasi, agar setiap pembacaan bukan sekadar kalkulasi, tapi juga kontemplasi.
Menafsir Ulang Jalan Kenabian
Dalam konteks ini, kita dapat menafsir ulang kenabian sebagai proyek intelektual dan spiritual yang saling menyatu. Nabi bukan sekadar menyampaikan hukum, tapi membentuk kesadaran akal dan hati umat manusia.
Etika wahyu yang diperagakan di Gua Hira adalah fondasi keilmuan Islam yang sejati—sebuah dunia ilmu yang bukan netral atau bebas nilai, tetapi tertanam dalam relasi suci antara makhluk dan Khaliknya.
Nabi Muhammad bukan hanya sosok yang menerima wahyu, tapi juga figur yang memperlihatkan bagaimana manusia harus menyikapi kebenaran: dengan rendah hati, sabar, dan tidak tergesa-gesa. Inilah etika intelektual wahyu yang harus kita warisi dan hidupkan kembali.(emha)