ppmindonesia.com.Jakarta – Di sebuah desa kecil di lereng Merapi, Yogyakarta, seorang petani bernama Pak Warno memandangi sawahnya yang hijau, bebas dari pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Sudah tujuh tahun ia beralih ke pertanian organik. Hasilnya memang tak sebesar sebelumnya, tapi ia bangga: tanahnya lebih subur, air di sekitarnya lebih bersih, dan anak-anaknya bisa makan sayur tanpa takut residu racun.
Namun, meski telah memberi contoh, Pak Warno masih merasa sendiri. “Kami hanya segelintir,” katanya. “Petani lain belum berani ikut. Mereka bilang: siapa yang beli?”
Kisah Pak Warno adalah gambaran kecil dari tantangan besar yang dihadapi pertanian organik di Indonesia.
Hingga kini, data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan pertanian organik tersertifikasi di Indonesia masih di bawah 0,5% dari total lahan pertanian nasional. Padahal, pertanian organik dipercaya mampu menjadi salah satu jawaban atas tantangan besar zaman ini: krisis pangan, krisis iklim, dan ancaman kesehatan akibat bahan kimia berlebih.
Bukan Sekadar Trend, Tapi Jalan Masa Depan
Pertanian organik bukan sekadar pilihan gaya hidup. Ini adalah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan pangan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.
“Pertanian organik seharusnya dilihat sebagai investasi sosial dan ekologis, bukan sekadar tren pasar,” ujar Prof. Dwi Andreas Santosa, ahli pertanian dari IPB University.
Menurutnya, dengan sistem tanam yang mengandalkan daur ulang unsur hara dan keragaman hayati, pertanian organik menjaga kesuburan tanah jangka panjang, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menjamin keberlanjutan produksi tanpa merusak ekosistem.
Namun, minimnya dukungan struktural menjadikan pilihan ini berat diambil petani. Dibanding pertanian konvensional yang mendapat subsidi pupuk dan dukungan penuh rantai distribusi, petani organik masih berjuang sendiri mencari pasar dan menanggung ongkos transisi yang tinggi.
Sertifikasi yang Rumit, Pasar yang Sempit
Bagi banyak petani, tantangan pertanian organik bukan hanya di lahan, tapi juga di meja birokrasi. Proses sertifikasi organik sering kali membingungkan dan memerlukan biaya yang tak sedikit.
Bahkan, petani seperti Pak Warno yang sudah menjalankan prinsip organik tetap tidak bisa menjual produknya sebagai “organik” di pasar resmi karena tidak tersertifikasi.
Pasar pun masih belum sepenuhnya mendukung. Di tengah himpitan harga pangan murah, produk organik dianggap terlalu mahal. Tanpa jaminan pembeli dan harga layak, petani tentu akan berpikir dua kali.
Saatnya Negara Turun Tangan
Jika pertanian organik dianggap penting untuk masa depan, maka negara tidak bisa hanya memberikan slogan.
Dibutuhkan keberpihakan nyata: insentif fiskal, pelatihan penyuluh, jaminan pasar lewat kebijakan pengadaan pangan sehat untuk sekolah dan rumah sakit, serta perlindungan terhadap petani kecil yang ingin beralih ke sistem organik.
Ekonom (alm) Faisal Basri pernah menekankan pentingnya strategi jangka panjang dalam ketahanan pangan. “Kalau terus bergantung pada pupuk kimia dan impor pangan, kita rawan krisis. Pertanian organik menawarkan jalur alternatif yang lebih stabil secara ekologis dan ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi publik tentang reformasi pangan.
Harapan dari Pinggiran
Meski masih minim dukungan, harapan tidak pernah padam. Komunitas-komunitas kecil terus menanam, dari Bali hingga Jambi, dari Sleman hingga Lombok Utara.
Mereka membuktikan bahwa pertanian organik bukan utopia. Mereka hanya butuh jembatan: dari ladang ke pasar, dari semangat ke sistem.
“Kalau ada jaminan pasar dan pendampingan, saya yakin teman-teman petani akan ikut. Kami sudah lelah bergantung pada pupuk bersubsidi yang sering langka,” ujar Pak Warno sambil tersenyum.
Indonesia punya potensi besar, tetapi potensi tanpa arah adalah kekuatan yang tersia-siakan. Pertanian organik bisa menjadi tulang punggung masa depan pangan nasional—asal negara bersedia memberi ruang, insentif, dan perlindungan.
Karena sejatinya, ketahanan pangan tak bisa hanya dibangun dari meja perencanaan, tapi dari lahan-lahan seperti yang dirawat oleh Pak Warno dan ribuan petani lainnya.(acank)
 













 
									

 












