ppmindonesia.com.Jakarta – Gagasan membangun kemandirian ekonomi warga dari tingkat akar rumput bukanlah wacana baru. Indonesia telah lama mencoba berbagai skema pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, dari koperasi, unit usaha kelurahan, hingga dana bergulir desa.
Kini, semangat tersebut dihidupkan kembali melalui program Koperasi Merah Putih, sebuah inisiatif pemerintah pusat yang digadang-gadang mampu menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi desa dan kelurahan.
Namun bagi sebagian kalangan, terutama yang pernah berkecimpung dalam pembangunan lokal di era awal reformasi, program ini mengingatkan pada Program Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Kelurahan (PPMEK) yang diluncurkan di DKI Jakarta pada awal 2000-an.
PPMEK saat itu menjadi salah satu upaya untuk menggantikan skema dana dewan kelurahan (Dekel) yang dihentikan, dengan model koperasi simpan pinjam yang dibentuk dan dikelola langsung oleh kelurahan bersama warga.
Sebagai pendamping di dua kelurahan di Jakarta Barat, penulis menyaksikan bagaimana koperasi PPMEK dijalankan. Dana berasal dari APBD DKI dan disalurkan melalui Bank DKI. Koperasi dibentuk dengan cepat, dan masyarakat digerakkan untuk membentuk unit-unit usaha kecil yang bisa dibiayai dari skema pinjaman ringan tersebut.
Sayangnya, meski niatnya baik, banyak koperasi yang kemudian jalan di tempat atau bahkan macet karena minimnya pengawasan, lemahnya kapasitas pengelola, dan tidak adanya sistem kontrol berkelanjutan.
Kini, program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) menawarkan pendekatan baru, meski pada dasarnya tetap mengadopsi prinsip yang sama: memperkuat ekonomi warga melalui lembaga koperasi lokal.
Yang membedakan adalah skalanya yang nasional dan sistem yang lebih terstandarisasi. Pemerintah menawarkan plafon pinjaman hingga Rp3 miliar per koperasi dengan tenor enam tahun, bukan dalam bentuk hibah, tetapi pinjaman bergulir yang harus dikembalikan.
Setiap pengajuan koperasi harus melewati musyawarah desa atau kelurahan khusus, menyusun rencana usaha, menentukan simpanan pokok dan wajib, serta menyusun proposal bisnis. Dana akan diverifikasi oleh bank sesuai kebutuhan dan kelayakan. Bila koperasi mengajukan dana Rp1 miliar untuk membangun gudang, namun hanya layak Rp200 juta, maka hanya jumlah itulah yang akan dicairkan.
Pendekatan ini menuntut koperasi untuk lebih profesional dan transparan, tidak sekadar menjadi proyek instan. Pemerintah juga mendorong percepatan legalisasi koperasi melalui sistem digital Direktorat Jenderal AHU yang mampu memproses ribuan dokumen per hari. Dengan target 80 ribu koperasi hingga akhir 2025, efisiensi sistem menjadi kunci.
Meski begitu, tantangan klasik tetap ada: dari kesiapan sumber daya manusia, kemampuan manajerial, hingga perlunya pendampingan intensif. Belajar dari pengalaman PPMEK, kita tahu bahwa uang dan niat baik saja tidak cukup.
Pendamping desa memiliki peran vital dalam menjembatani idealisme program dengan realitas di lapangan. Tanpa pendamping yang mumpuni, koperasi rawan menjadi formalitas administratif yang kehilangan ruh pemberdayaannya.
Koperasi Merah Putih mungkin tampak sebagai kebijakan baru, tapi sejatinya adalah replikasi model lama dalam bingkai kebijakan yang diperbarui.
Dan tidak ada yang salah dengan itu. Justru dengan refleksi atas pengalaman masa lalu, kita bisa menghindari jebakan yang sama dan menata masa depan koperasi yang lebih berkelanjutan.
Jika PPMEK menjadi jejak awal, maka Koperasi Merah Putih bisa menjadi kelanjutan sejarah yang lebih matang.
Ia bukan hanya simbol kebangkitan ekonomi desa, tetapi juga cerminan dari niat bangsa ini untuk menata ulang ekonomi dari pinggiran—dengan cara yang lebih cerdas, transparan, dan partisipatif.(acank)