ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam khazanah Islam, cacing bukan sekadar makhluk kecil yang sering dipandang remeh. Ia muncul dalam kisah-kisah para Nabi yang sarat hikmah.
Suatu hari, Nabi Daud a.s. memandang seekor cacing merah kecil di tanah. Terlintas dalam benaknya: “Apa hikmah Allah menciptakan makhluk seperti ini?”
Maka, dengan izin Allah, cacing itu berkata, “Wahai Nabiyullah, setiap malam aku bertasbih kepada Allah dengan kalimat: Subhanallah, Walhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar.” Cacing itu lalu bertanya, “Dzikir macam apa yang engkau panjatkan kepada Tuhanmu di malam hari?”
Nabi Daud pun terdiam dan merasa malu. Sejak saat itu, dzikir cacing menjadi amalannya setiap malam. Sebuah pelajaran bahwa bahkan makhluk yang tampak hina pun punya tempat mulia di sisi Tuhan.
Cacing juga hadir dalam kisah wafatnya Nabi Sulaiman a.s. Diceritakan bahwa tongkat tempat beliau bersandar digerogoti cacing hingga rapuh. Barulah ketika tongkat itu patah, manusia tahu bahwa Nabi Sulaiman telah wafat.
Dalam pendekatan ekologis, cacing dipahami sebagai makhluk pengurai, pekerja hening yang mengurai bangkai dan bahan organik, menyuburkan tanah, dan menjaga keseimbangan kehidupan.
Ketika Ilmu Menyusul Wahyu
Al-Qur’an memang tidak menyebut cacing secara eksplisit. Namun, para ahli tafsir kerap merujuk pada makhluk ini saat menafsirkan hewan-hewan kecil yang menjijikkan. Ulama berbeda pendapat mengenai kehalalan cacing sebagai bahan pangan, namun dunia ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa cacing adalah makhluk yang luar biasa kaya manfaat.
Dalam industri, cacing digunakan untuk bahan kosmetik, farmasi, kebugaran, bahkan sebagai enzim aktif dalam penguraian limbah.
Di dunia pertanian, cacing adalah pabrik kompos hidup—menghasilkan kompos super (kascing) yang kaya asam amino dan enzim penting.
Ia bisa mengubah makanan yang dikonsumsi menjadi kompos kualitas tinggi sebanyak 30% per hari.
Protein cacing pun sangat tinggi—mencapai 63%. Bandingkan dengan kebutuhan protein ikan (24%) dan ayam kampung (26%). Maka menjadikan cacing sebagai pakan ternak jelas memberi keuntungan besar dalam kecepatan pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Krisis Sampah: Realitas yang Mengerikan
Sampah kini menjadi bom waktu. Menurut data KLHK per 24 Juli 2024, timbunan sampah nasional mencapai 31,9 juta ton.
Dari jumlah itu, 35,67% atau 11,3 juta ton tidak terkelola. Prediksinya, pada 2045 Indonesia bisa menghasilkan 82 juta ton sampah per tahun—angka yang mencengangkan dan mengkhawatirkan.
Masalah ini diperparah oleh minimnya anggaran. Banyak daerah hanya mengalokasikan kurang dari 1% APBD untuk pengelolaan sampah.
Di Yogyakarta, contohnya, anggarannya stagnan dari tahun ke tahun. Padahal, idealnya alokasi dana bisa mencapai 3% untuk mengimbangi besarnya tantangan.
Ironisnya, fokus kita lebih banyak pada sampah anorganik karena dianggap punya nilai jual. Padahal 63% dari total sampah nasional adalah sampah organik—sisa makanan rumah tangga, hotel, restoran—yang justru paling sulit ditangani.
Gagalnya Bank Sampah dan Magot
Sudah banyak upaya dilakukan. Bank sampah tumbuh subur, mencapai lebih dari 27.000 unit. Tapi sebagian besar justru menangani sampah anorganik.
Nilai ekonominya rendah. Rata-rata omzet per titik hanya Rp 101 ribu per bulan—tidak cukup menopang operasional. Maka banyak bank sampah hidup segan mati tak mau.
Budidaya magot juga populer sebagai solusi sampah organik. Namun, realisasinya jauh dari ideal. Di Semarang, hanya 20 orang yang membudidayakan magot, dan hasilnya lesu.
Harga jual magot rendah—hanya Rp 5.000 per kg—sementara proses budidayanya rumit dan menuntut ketelatenan tinggi.
Kenapa Cacing?
Maka muncul pertanyaan: Jika solusi yang sudah ada tidak efektif, adakah alternatif yang lebih baik? Jawabannya: cacing.
- Mudah dibudidayakan. Cacing adalah hewan hermaprodit—punya organ kelamin ganda, sehingga tak butuh proses perkawinan yang kompleks.
- Produktivitas tinggi. Populasi cacing bisa bertambah dua kali lipat setiap bulan. Dari 100 kg bibit, dalam sebulan bisa jadi 200 kg, lalu 400 kg, dan seterusnya.
- Pabrik kompos alami. Cacing menghasilkan kascing setiap hari, tanpa perlu proses rumit seperti kompos dari kotoran hewan yang butuh waktu 1–3 bulan.
- Nilai ekonomi tinggi. Harga cacing mencapai Rp 15 ribu per kg. Pasarnya luas—untuk kosmetik, farmasi, pakan ternak, dan lain-lain. Bandingkan dengan magot yang hanya Rp 5.000 per kg.
Model yang Benar, Dampak yang Nyata
Tapi keberhasilan bukan hanya soal apa yang dilakukan, melainkan bagaimana caranya.
Budidaya cacing harus dilakukan di tingkat RT. Mengapa? Untuk menghindari biaya transportasi sampah dan memperkuat partisipasi warga. Warga bisa membawa sampah organik langsung ke kolam cacing.
Desain kolamnya pun sederhana: ukuran 16 meter x 1 meter x 20 cm, atau versi bertingkat. Isikan dengan 40 kg bibit cacing, cukup sekali beli. Satu kolam cukup untuk menyerap sampah dari 90 KK. Modal awal hanya Rp 3–5 juta—cukup untuk kolam dan bibit. Tidak perlu ratusan juta atau alat canggih.
Model ini tak boleh digeser ke tingkat RW apalagi kelurahan. Semakin jauh dari sumber sampah, semakin besar biaya dan semakin rendah partisipasi warga.
Dari Beban Jadi Cuan
Apa dampak dari program sederhana ini?
- Sampah organik terselesaikan 100% di tingkat RT. Jika semua RT menerapkan, maka persoalan sampah bisa selesai di seluruh kota.
- Pendapatan bagi pengurus RT. Produksi cacing bisa mencapai 100 kg per bulan. Dengan harga Rp 15 ribu, berarti penghasilan Rp 1,5 juta. Dari kascing, bisa dapat tambahan Rp 1 juta.
- Ketahanan pangan. Kascing bisa dibagi ke warga agar mereka menanam sayuran sendiri. Sayur organik berkualitas, mengurangi pengeluaran, meningkatkan kesehatan.
- Kemandirian lokal. RT menjadi pusat kedaulatan lingkungan dan pangan. Dari sampah, muncul keberkahan.
Kunci Sukses: Mentalitas
Ilmu sudah ada. Model sudah teruji. Tapi masih ada satu hal paling krusial: mentalitas. Terlalu banyak seminar, wacana, proyek, tapi minim eksekusi. Sampah jadi komoditas diskusi, bukan gerakan nyata. Bukan hanya pemerintah, bahkan kampus-kampus dan ilmuwan pun sering abai dalam mengeksekusi solusi nyata.(guntoro soerwarno)
*Penulis adalah Pemilik “Ali OrganicFarm (ALO FARM) Semarang, juga Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat dan Kerjasama Antar lembaga MW Kahmi Jawa tengah. Juga Peneliti di Institut Pengembangan Masyarakat (Ipama) PPM Indonesia*