Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ketika Ilmu Diprivatisasi: Kesalahan Memahami ‘Orang Berilmu’ dalam Islam

187
×

Ketika Ilmu Diprivatisasi: Kesalahan Memahami ‘Orang Berilmu’ dalam Islam

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta- Dalam sejarah panjang peradaban Islam, ilmu (‘ilm) selalu menjadi fondasi kemajuan spiritual dan sosial. Al-Qur’an sendiri membuka wahyu pertamanya dengan perintah membaca (iqra’), bukan menyembah, bukan pula patuh secara membuta. 

Namun, dalam praktik keseharian umat Islam hari ini, terjadi pergeseran tajam: ilmu tidak lagi menjadi milik bersama, melainkan “diprivatisasi” oleh sekelompok elit yang menyebut dirinya pewaris otoritatif tunggal dari kebenaran.

Kecenderungan ini menimbulkan kesalahpahaman mendalam: bahwa hanya golongan tertentu—yang bergelar ustaz, kyai, habib, atau ulama—yang berhak bicara soal agama, sementara umat awam cukup menerima tanpa bertanya. Apakah ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an?

Ilmu: Cahaya yang Tidak Memilih Siapa yang Layak

Dalam Al-Qur’an, ilmu tidak dikaitkan dengan status sosial atau posisi keagamaan tertentu, tetapi dengan kesungguhan mencari kebenaran dan penggunaan akal sehat. QS. Al-Mujadalah:11 menegaskan:

وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ۝١١

“ Apabila di katakan  berdirilah (kamu) berdirilah Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan monopoli. Siapa pun—asal beriman dan bersungguh-sungguh belajar—bisa mendapat derajat tinggi. Tidak disebutkan syarat institusi, keturunan, atau gelar.

Namun hari ini, terjadi kebalikannya. Gelar keagamaan dianggap lebih penting dari proses berpikir kritis. Bahkan, ijtihad—yang dahulu terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat ilmu dan kejujuran intelektual—kini ditutup rapat dan diserahkan pada segelintir yang mengklaim sebagai otoritas tunggal. Inilah bentuk privatisasi ilmu yang secara diam-diam mematikan nalar umat.

Ulama Sejati Menurut Al-Qur’an: Bukan yang Banyak Gelar, Tapi yang Takut pada Tuhan

QS. Fāṭir:28 menyebut:

….اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ…. ۝٢٨

 “….Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”

Ayat ini sering dipakai untuk melegitimasi dominasi kelompok tertentu. Padahal, menurut Muhammad Abduh, dalam tafsir Al-Manar, kata “ulama” di sini tidak menunjuk pada jabatan atau status, melainkan orang-orang yang menyaksikan tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta dan tunduk dengan penuh kesadaran. 

Artinya, ilmuwan fisika, petani yang jujur merenungi hujan, atau ibu rumah tangga yang mendidik anak dengan akhlak, bisa lebih “ulama” daripada mereka yang menghafal kitab tapi tak punya rasa takut pada Tuhan.

Hal senada dikatakan oleh Fazlur Rahman, pemikir Islam asal Pakistan, yang menegaskan:

 “Ulama sejati adalah mereka yang menerjemahkan ilmu menjadi tanggung jawab sosial dan etika, bukan sekadar mengutip teks tanpa konteks.”

Bahaya Privatisasi Ilmu: Hilangnya Partisipasi Umat

Privatisasi ilmu menghasilkan umat yang pasif, mudah disesatkan, dan bergantung pada tokoh agama untuk setiap masalah hidupnya. Mereka takut mengkritisi karena merasa “tidak punya kapasitas”.

 Padahal, Al-Qur’an berulang kali mendorong manusia berpikir dan bertanya. QS. Al-Baqarah: 164 memuat ayat-ayat penciptaan langit dan bumi sebagai ajakan untuk berpikir, bukan menerima dogma.

Dalam tradisi klasik, dialog keilmuan sangat hidup. Imam Abu Hanifah tidak melarang muridnya untuk berbeda pendapat. Bahkan, ia pernah berkata:

“Pendapatku ini adalah pendapatku. Jika ada yang lebih baik darinya, ambillah.”

Bandingkan dengan praktik hari ini, di mana banyak tokoh agama melarang keras umat mempertanyakan pendapatnya—bahkan menganggapnya dosa. Inilah bentuk otoritarianisme religius yang menjauhkan umat dari semangat Qur’ani.

Mengembalikan Ilmu sebagai Amanah Sosial

Ilmu, dalam Islam, adalah amanah yang harus disebarkan, bukan dikunci. QS. Ali Imran: 187 mengkritik keras mereka yang menyembunyikan ilmu:

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ… ۝١٨٧

“Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari orang-orang yang diberi kitab, ‘Hendaklah kamu menjelaskannya kepada manusia dan jangan kamu sembunyikan.’”

Nasr Hamid Abu Zayd, dalam kritiknya terhadap elitisme tafsir, menegaskan bahwa umat berhak ikut terlibat dalam penafsiran agama karena wahyu turun untuk masyarakat, bukan hanya untuk ahli agama.

“Ketika teks menjadi monopoli, agama berubah menjadi alat kekuasaan.”

Waktunya Membuka Kembali Pintu Ijtihad dan Literasi Umat

Kesalahan terbesar dalam memahami “orang berilmu” dalam Islam adalah ketika kita menyamakan ilmu dengan otoritas institusional. Padahal, dalam kerangka Al-Qur’an, ilmu adalah perjalanan moral dan intelektual yang bisa ditempuh siapa saja yang mau berpikir, bertanya, dan berlaku jujur.

Ilmu bukan properti pribadi. Dan ‘ulama’ bukan kasta. Mengembalikan ilmu pada tempatnya adalah langkah awal menuju kebangkitan umat.

…اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ… ۝١١

“Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Mengubah cara pandang terhadap ilmu adalah bagian dari perubahan itu. (emha)

 

Example 120x600