Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Membaca dengan Nama Tuhan: Makna Mendalam di Balik ‘Bismillah’

18
×

Membaca dengan Nama Tuhan: Makna Mendalam di Balik ‘Bismillah’

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.jakarta – Di antara jutaan manusia yang menapaki hidup setiap hari, sebagian membaca buku, sebagian membaca layar, dan sebagian lainnya membaca dunia: peristiwa, gejala, atau bahkan luka. 

Tapi, berapa banyak yang membaca dengan menyebut nama Tuhan?

Ungkapan “Bismillah”, yang sering kali hadir di awal setiap aktivitas umat Islam, bukanlah sekadar pembuka doa. 

Ia adalah kunci kesadaran. Ia mengajarkan bahwa setiap laku, bahkan membaca sekalipun, harus dilakukan dalam jalinan relasi spiritual. 

Sebab dalam Al-Qur’an, wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya berisi perintah “Iqra’” (bacalah), tetapi juga petunjuk mendalam:

“Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq.”

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”

Membaca Bukan Aktivitas Netral

Dalam pandangan intelektual Muslim seperti Syekh Muhammad Abduh, membaca bukanlah aktivitas netral. Ia adalah proses mendekat kepada hakikat, menggali makna, dan menjembatani jiwa dengan semesta. 

Namun, membaca tanpa “bismillah” bisa menjauhkan dari makna. Membaca bisa berubah menjadi eksploitasi, manipulasi, atau pengabaian terhadap nilai-nilai.

Hal ini ditegaskan oleh Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, bahwa “bismillah” tidak hanya mengandung seruan religius, melainkan juga etika epistemologi—menempatkan pengetahuan dalam orbit nilai ilahiah. “Jika seseorang mengawali dengan ‘bismillah’, ia mengakui bahwa dirinya bukan pusat dari pengetahuan. Ia meletakkan Tuhan sebagai sumber segala makna,” tulis beliau.

Bismillah dan Kesadaran Eksistensial

Di balik kesederhanaannya, “bismillah” mengandung kesadaran eksistensial yang mendalam. Ia menyadarkan manusia bahwa tindakan sekecil apapun—membaca, menulis, berjalan, bahkan diam—punya makna ketika dikaitkan dengan Sang Pencipta.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, di mana ilmu menjadi produk dan kebenaran bisa diperjualbelikan, bismillah adalah rem spiritual. Ia menghentikan kita sejenak untuk bertanya: untuk apa aku membaca? untuk siapa pengetahuanku ini?

Gus Dur, dalam banyak ceramah dan tulisannya, sering menyentil pentingnya spiritualitas dalam aktivitas intelektual. 

“Ilmu yang tidak bersambung dengan nilai, apalagi dengan Tuhan, akan mudah dibelokkan ke arah kekuasaan dan keserakahan,” katanya dalam satu kesempatan.

Bismillah sebagai Filter Moral

“Bismillah” bukan sekadar awal yang manis, ia adalah filter moral. Di dunia akademik atau jurnalistik, misalnya, di mana data dan fakta bisa dimanipulasi, bismillah mengingatkan: jangan sembarangan menulis, jangan asal bicara, karena ada nama Tuhan yang kau bawa.

Dalam dunia bisnis, bismillah berarti berdagang dengan kejujuran, bukan sekadar keuntungan. Dalam dunia pendidikan, bismillah berarti mendidik untuk memanusiakan, bukan sekadar mencetak angka kelulusan.

Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa “Segala amal yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah akan kosong dari keberkahan.” 

Dalam tafsir lebih mendalam, keberkahan di sini tidak hanya berarti ‘bernilai ibadah’, tetapi juga memiliki makna, dampak, dan keabadian.

Menghidupkan Kembali “Bismillah

Kini, ketika banyak yang merasa kehilangan arah dalam membaca dunia—entah karena banjir informasi, algoritma, atau propaganda—mungkin kita perlu kembali kepada “bismillah”. Sebab bismillah bukan sekadar lafaz, tapi sikap spiritual yang mengingatkan bahwa semua yang kita lihat, dengar, dan baca, harus dimaknai dalam cahaya Ilahi.

“Bismillah” bukan mantra, bukan jimat, tapi kompas. Ia menunjukkan arah ketika akal mulai tersesat. Ia menjaga hati ketika ilmu membawa kesombongan. Dan ia mengingatkan, bahwa dalam setiap aksara yang kita telusuri, ada Tuhan yang ingin dikenal, bukan dilupakan. (emha)

 

Example 120x600