Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Antara Kedaulatan Kesehatan dan Kolaborasi Global: Polemik Uji Coba Vaksin TBC di Indonesia

10
×

Antara Kedaulatan Kesehatan dan Kolaborasi Global: Polemik Uji Coba Vaksin TBC di Indonesia

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta Pagi itu, udara Jakarta belum terlalu panas ketika Dr. Anwar, seorang dokter paru senior di RS Persahabatan, menyesap kopinya sambil membaca berita utama: “Indonesia Jadi Lokasi Uji Klinis Tahap 3 Vaksin TBC M72.” Ia menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Di satu sisi, ia paham betul betapa mendesaknya solusi atas epidemi Tuberkulosis (TBC) yang sudah terlalu lama menghantui negeri ini. 

Namun di sisi lain, pertanyaan besar muncul: Apakah kita masih merdeka dalam urusan kesehatan, atau sekadar menjalankan agenda global?

Indonesia memang bukan pemain kecil dalam peta TBC dunia. Menurut laporan WHO tahun 2023, Indonesia menempati posisi kedua dengan beban TBC tertinggi di dunia, setelah India. Setiap tahun, lebih dari 800.000 kasus baru ditemukan, dan lebih dari 130.000 orang meninggal akibat penyakit ini. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai lokasi ideal untuk uji klinis vaksin TBC terbaru, yakni M72.

Namun ideal bagi siapa? Bagi rakyat Indonesia, atau bagi konsorsium global yang ingin menguji produk inovatifnya?

Kolaborasi atau Ketergantungan?

Vaksin M72, yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi GSK dan didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation serta Wellcome Trust, telah menunjukkan hasil menjanjikan pada uji klinis tahap 2: mampu mencegah TBC aktif pada 50% individu yang telah terinfeksi TBC laten. Kini, vaksin ini memasuki tahap 3—uji berskala besar di berbagai negara, termasuk Indonesia.

“Tidak ada yang salah dengan kerja sama internasional,” kata Dr. Diah Saminarsih, mantan penasihat WHO dan aktivis kesehatan global. “Namun, kerja sama itu harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kedaulatan. Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan tempat uji coba, sementara akses terhadap hasilnya nanti masih ditentukan negara-negara donor atau industri farmasi.”

Menurutnya, kerja sama kesehatan yang ideal adalah yang memberikan manfaat langsung bagi rakyat: transfer teknologi, peningkatan kapasitas riset dalam negeri, dan keterlibatan institusi nasional seperti Bio Farma atau universitas-universitas riset.

Kedaulatan yang Kerap Diabaikan

Polemik soal kedaulatan kesehatan bukan hal baru di Indonesia. Kasus flu burung pada 2005 pernah menjadi babak penting saat pemerintah Indonesia di bawah Menkes Siti Fadilah Supari memutuskan tidak menyerahkan begitu saja sampel virus ke WHO tanpa jaminan keadilan distribusi vaksin.

“Ketika negara-negara maju bersiap dengan teknologinya, kita hanya diminta menyerahkan virus, bukan mendapat hak produksi vaksinnya,” kenang dr. Siti dalam sebuah wawancara. “Jangan ulangi kesalahan yang sama. Vaksin TBC ini harus menjadi pelajaran bahwa kedaulatan adalah harga mati.”

Pandangan serupa datang dari Prof. Dr. Zubairi Djoerban, guru besar FKUI dan ahli penyakit menular. Ia menekankan bahwa keterlibatan Indonesia dalam uji klinis bisa positif, asal disertai dengan pengawasan ketat terhadap protokol etik, perlindungan hak partisipan, serta komitmen agar Indonesia tidak hanya sebagai “pasar,” tetapi juga bagian dari solusi global.

Masyarakat Perlu Diberi Ruang Bertanya

Banyak warga masih gamang. Media sosial dipenuhi dengan komentar miring—sebagian karena hoaks, sebagian lagi karena ketiadaan informasi resmi. 

Di lapangan, para petugas kesehatan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari masyarakat: Apakah ini aman? Apakah saya bisa ikut? Siapa yang bertanggung jawab kalau terjadi efek samping?

“Partisipasi masyarakat dalam uji klinis itu penting, tapi bukan asal tunjuk,” kata Dr. Riris Andono Ahmad, epidemiolog dari UGM. 

“Mereka berhak tahu prosesnya, risikonya, dan hak-haknya sebagai subjek riset. Kita tidak bisa hanya menjelaskan lewat selebaran atau satu-dua webinar. Harus ada pendekatan yang dialogis dan menghargai kecemasan mereka.”

Belajar dari Pandemi, Membangun Sistem Nasional

Pandemi COVID-19 memberi pelajaran keras. Indonesia sempat kesulitan mengakses vaksin, meski kemudian mampu memproduksi sebagian secara lokal melalui kerja sama dengan Sinovac. Dari sana, muncul kesadaran tentang pentingnya kemandirian dalam riset, produksi, dan distribusi vaksin.

“Harus ada agenda nasional jangka panjang: Indonesia mandiri vaksin. Kalau sekarang kita ikut uji klinis, pastikan kita dapat hak untuk ikut memproduksi, bahkan meneliti varian vaksinnya di masa depan,” ujar dr. Reisa Broto Asmoro, juru bicara pemerintah bidang kesehatan. 

Ia mendorong sinergi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Ristek, dan BUMN farmasi untuk mengawal kepentingan nasional.

Menjembatani Dua Kepentingan

Uji klinis M72 adalah cermin dari tantangan besar yang dihadapi negara berkembang: bagaimana menjembatani kebutuhan akan teknologi dan ilmu pengetahuan global, tanpa kehilangan pijakan pada kedaulatan dan martabat nasional.

Kembali ke Dr. Anwar di rumah sakit, ia menutup beritanya dan menarik napas panjang. Di ruang sebelah, pasien TBC paru usia 24 tahun baru saja masuk ruang perawatan. Anwar tahu, selama vaksin ini belum tersedia, perjuangan masih panjang.

“Kalau vaksin ini berhasil, kita bisa selamatkan ribuan nyawa,” katanya. “Tapi kita juga harus pastikan, nyawa rakyat kita tidak jadi tumbal dari riset yang tidak transparan.”

Dalam dunia yang semakin terhubung, kolaborasi adalah keniscayaan. Namun, seperti kata pepatah lama: Bersahabatlah tanpa kehilangan jati diri. Uji coba vaksin TBC ini bisa menjadi langkah besar—asal kita tahu persis ke mana kaki ini melangkah.(acank)

Example 120x600