ppmindonesia.com. Jakarta – Pagi itu, di sebuah puskesmas di wilayah Jakarta Timur, Ratna (31), ibu dua anak, datang untuk berkonsultasi tentang vaksinasi. Namun kali ini, bukan soal imunisasi dasar untuk balitanya, melainkan tentang informasi uji klinis vaksin TBC terbaru yang sedang ramai dibicarakan.
Ia mendengar kabar bahwa Indonesia tengah menjadi lokasi uji klinis tahap 3 untuk vaksin M72, yang digadang-gadang menjadi harapan baru dalam melawan Tuberkulosis (TBC). Ratna, seperti jutaan masyarakat Indonesia lainnya, bertanya-tanya: apa sebenarnya vaksin ini, dan apa risikonya bagi kita?
Indonesia, yang menyandang predikat negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India, kini berada di garda depan riset global untuk melawan penyakit menular yang membunuh lebih dari 130.000 warga Indonesia setiap tahun.
Vaksin M72, yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline (GSK) dan didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation serta Wellcome Trust, kini memasuki uji klinis tahap akhir di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Namun, di balik kabar menggembirakan itu, muncul pula suara-suara kritis. Kekhawatiran akan transparansi, keterlibatan asing, hingga kemungkinan Indonesia hanya dijadikan “kelinci percobaan” muncul di ruang-ruang publik dan media sosial.
Harapan di Tengah Ancaman Lama
TBC bukan penyakit baru. Sejak lama, ia menjadi momok di wilayah-wilayah padat dan miskin, terutama karena penyebarannya yang diam-diam namun mematikan.
Selama beberapa dekade, satu-satunya vaksin yang digunakan adalah BCG, dan itupun lebih efektif mencegah bentuk berat TBC pada anak-anak, bukan pada remaja dan dewasa.
“Vaksin M72 ini berpotensi menjadi game-changer,” ujar Prof. Dr. Fedik Abdul Rantam, pakar virologi dan peneliti senior dari Universitas Airlangga. “Berbeda dari BCG, M72 dirancang untuk memberikan perlindungan yang lebih luas pada kelompok usia dewasa yang paling rentan terhadap penularan TBC laten dan aktif.”
Menurut Prof. Fedik, M72 menggunakan pendekatan subunit protein dan adjuvan canggih yang telah melewati uji praklinis dan dua tahap uji klinis sebelumnya dengan hasil menjanjikan.
Pada uji tahap dua, efektivitasnya mencapai 50% dalam mencegah TBC aktif pada individu yang sudah terinfeksi TBC laten.
Transparansi dan Hak Partisipan: Isu yang Tidak Boleh Dikesampingkan
Di tengah harapan itu, muncul kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Dalam sebuah wawancara podcast, dr. Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan RI, mengingatkan bahwa keterlibatan asing dalam riset kesehatan nasional harus disertai transparansi total dan pengawasan ketat.
“Kita bukan anti-ilmu, tapi jangan sampai Indonesia hanya jadi tempat uji coba tanpa mendapat manfaat langsung. Kita harus mendorong transfer teknologi dan memastikan vaksin ini kelak bisa diproduksi sendiri,” tegasnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University. Ia menilai pemerintah kurang aktif menjelaskan kepada publik bahwa uji klinis bukanlah bentuk eksploitasi, melainkan bagian dari proses ilmiah yang melibatkan persetujuan etis, kerelaan partisipan, dan pengawasan ketat dari lembaga-lembaga internasional dan nasional seperti WHO, BPOM, dan Komite Etik.
“Sayangnya, narasi publik sering dibajak oleh hoaks dan ketakutan yang tidak berdasar,” ujarnya. “Istilah seperti ‘vaksin Bill Gates’ atau ‘kelinci percobaan’ itu misleading dan bisa menyesatkan masyarakat.”
Siapa yang Terlibat, dan Apa Keuntungannya bagi Indonesia?
Uji klinis tahap 3 vaksin M72 akan melibatkan lebih dari 2.000 partisipan di beberapa wilayah di Indonesia. Mereka adalah individu sehat berusia 16–34 tahun, yang telah memenuhi kriteria ketat dalam seleksi sukarela.
Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi Kemenkes RI, menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi tempat uji, tetapi juga diharapkan menjadi mitra dalam produksi dan distribusi jika vaksin ini sukses. “Kita tidak bisa menunggu pasif.
Jika berhasil, kita harus memastikan bahwa Bio Farma atau mitra nasional lain terlibat dalam lisensi dan distribusi,” ujarnya.
Lebih dari Sekadar Sains: Soal Kedaulatan dan Kepercayaan
Bagi banyak warga, seperti Ratna, semua ini masih terdengar rumit. Ia ingin melindungi keluarganya, tetapi juga tak ingin jadi korban eksperimen yang tidak jelas. Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan berbasis data.
“Ilmu pengetahuan harus menjawab kebutuhan manusia, bukan hanya laboratorium,” kata Dr. Riris Andono Ahmad, ahli epidemiologi dari UGM. Ia menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dan keberpihakan pada masyarakat rentan dalam setiap uji klinis.
Langkah Kecil yang Menentukan
Seperti langkah Ratna yang datang pagi itu mencari informasi, begitu pula Indonesia kini mengambil langkah kecil namun menentukan dalam sejarah perang melawan TBC. Uji klinis vaksin M72 bukan hanya soal laboratorium dan jurnal ilmiah, tetapi soal harapan, hak, dan masa depan kesehatan bangsa.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Indonesia akan dilibatkan, tetapi bagaimana memastikan keterlibatan itu adil, aman, dan memberi manfaat nyata bagi rakyat. Seperti yang dikatakan Dicky Budiman: “Jangan biarkan kita hanya jadi tempat uji. Jadikan kita pemilik solusi.” (emha)