ppmindonesia.com.Jakarta – Seruan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad di Gua Hira menjadi fondasi penting dalam sejarah Islam. Kata pembuka “Iqra’!” (Bacalah!) tidak hanya menandai momen kenabian, tetapi juga menjadi simbol revolusi ilmu pengetahuan dan akal sehat.
Namun, muncul satu frasa yang terus-menerus dipahami secara sempit oleh sebagian kalangan: “Mā ana biqāri’.” Yang kerap diterjemahkan sebagai, “Aku tidak bisa membaca.”
Frasa ini kemudian dijadikan pijakan untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang buta huruf (ummī), dalam arti harfiah—tidak bisa membaca atau menulis.
Pandangan ini lalu dikukuhkan dalam banyak tafsir klasik, dan berimbas pada persepsi bahwa Islam diturunkan kepada umat yang “buta huruf” untuk menunjukkan keajaiban wahyu. Tapi benarkah demikian? Sudah saatnya mitos ini dibaca ulang secara kritis.
Membaca Ummī dan Mā Ana Biqāri’ dalam Konteks Sejarah dan Bahasa
Istilah ummī yang sering dikaitkan dengan Nabi Muhammad muncul dalam beberapa ayat, antara lain:
“…الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ…”
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummī…” (QS. Al-A’raf: 157)
Dalam penafsiran populer, ummī dimaknai sebagai tidak bisa membaca dan menulis. Namun banyak sarjana modern dan mufassir kontemporer mempertanyakan pemaknaan sempit ini.
Menurut Muhammad Abduh, ummī bukan merujuk pada kemampuan membaca, tetapi pada identitas kultural Nabi yang berasal dari kaum Ummiyeen—yaitu masyarakat Arab non-Ahlul Kitab yang belum menerima wahyu sebelumnya.
Fazlur Rahman menambahkan bahwa konteks “buta huruf” harus dilihat sebagai posisi epistemik, bukan literal. Nabi bukan “tidak bisa membaca huruf”, tetapi belum menerima pendidikan wahyu seperti kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ini sesuai dengan firman Allah:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ ٤٨
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya suatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulisnya dengan tangan kananmu .Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis,) niscaya orang-orang yang mengingkarinya ragu (bahwa ia dari Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 48)
Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi tidak belajar dari sumber kitab sebelumnya, bukan berarti tidak memiliki kemampuan membaca-tulis secara umum.
Makna Mā Ana Biqāri’: Penolakan atau Ketakjuban Spiritual?
Dalam peristiwa Gua Hira, saat malaikat Jibril berkata, “Iqra’,” Nabi menjawab, “Mā ana biqāri’.” Tafsir klasik mengartikannya sebagai “Saya tidak bisa membaca.” Namun, secara linguistik, frasa ini bisa memiliki makna lain: “Apa yang harus saya baca?” atau “Saya bukan pembaca (dalam arti belum tahu isi yang harus dibaca).”
Menurut Quraish Shihab, kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai ekspresi keterkejutan spiritual Nabi atas kehadiran malaikat dan perintah membaca sesuatu yang tidak tampak wujudnya secara fisik. Maka, pernyataan itu bukan pengakuan ketidakmampuan, tetapi reaksi wajar atas pengalaman luar biasa: perjumpaan dengan alam ghaib.
Mengapa Isu Ini Penting?
Jika Nabi dianggap buta huruf secara harfiah, maka konsekuensinya tafsir terhadap wahyu cenderung bersifat pasif. Wahyu hanya dianggap “diturunkan” begitu saja, dan Nabi tinggal menyampaikannya. Namun jika kita membuka ruang bahwa Nabi adalah sosok yang sadar, cerdas, dan mampu berinteraksi aktif dengan wahyu, maka akan muncul pemahaman yang lebih kaya terhadap Al-Qur’an sebagai dialog antara wahyu dan akal manusia.
Ini penting agar kita tidak terjebak dalam pembekuan makna yang justru bertentangan dengan semangat awal Islam: membaca, berpikir, dan memahami.
Wahyu dan Kesadaran Intelektual Nabi
Nabi Muhammad dikenal sebagai sosok yang dipercaya oleh kaumnya sebagai “Al-Amin”—yang jujur dan bijak, bahkan sebelum kenabian. Ia pernah berdagang, menulis perjanjian (misalnya saat Hilf al-Fudul), dan terlibat dalam berbagai proses sosial. Menafikan kemampuannya dalam membaca atau menulis secara mutlak adalah penyederhanaan yang justru mengecilkan kapasitas intelektual beliau.
Bahkan Allah sendiri menyebut:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ١٢٨
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Rasul bukan hanya penyampai ayat, tapi juga pelaku transformasi sosial dan etika. Maka, penegasan terhadap kapasitas intelektual Nabi justru menguatkan kedalaman dakwahnya.
Membaca Ulang Tradisi Membaca
Membongkar mitos Nabi sebagai “buta huruf” bukanlah upaya melemahkan mukjizat Al-Qur’an, melainkan mengembalikannya kepada makna yang lebih otentik dan kontekstual. Ini sekaligus membuka ruang bahwa wahyu itu dialogis, membutuhkan akal sehat dan nalar terbuka untuk memahaminya.
Karena jika Nabi sendiri diperintahkan untuk “membaca”, maka umatnya pun semestinya terus belajar membaca: membaca ayat-ayat Tuhan, membaca kehidupan, dan membaca zaman. Seperti firman-Nya:
…وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَࣖ ٨٩
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89), (emha)