Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Makna Shalat dalam QS 24:41: Bukan Sekadar Gerakan Ritual

13
×

Makna Shalat dalam QS 24:41: Bukan Sekadar Gerakan Ritual

Share this article

Punulis : husni fahro| Edditor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam ayat tersebut, Allah menyebut bahwa seluruh makhluk — baik yang di langit maupun yang di bumi — telah mengetahui “shalat” dan “tasbih” mereka. Tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir Ar-Razi dan Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa “shalat” di sini bermakna ketaatan, pengabdian, dan hubungan eksistensial dengan Sang Pencipta, bukan semata-mata gerakan atau ritual tertentu seperti yang dikenal dalam fiqih.

Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an menyatakan bahwa ayat ini menekankan dimensi spiritual shalat sebagai “ekspresi dari kesadaran kosmis terhadap Tuhan”. Seluruh makhluk, tanpa pengecualian, berada dalam posisi tunduk dan bertasbih — termasuk dalam bentuk yang tidak selalu dapat dipahami oleh manusia.

Fazlur Rahman juga menekankan bahwa shalat dalam Al-Qur’an adalah “komunikasi langsung dan terus-menerus antara manusia dengan Tuhannya”. Al-Qur’an tidak menjelaskan rincian teknis shalat karena inti dari ibadah ini adalah kesadaran spiritual, bukan formula baku.

Kitab Pelajaran Shalat: Menjadi Penjelas atau Penyesat?

Kitab pelajaran shalat sejatinya dikembangkan sebagai media pengajaran dasar, terutama kepada anak-anak dan mualaf. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika isi kitab itu justru mengklaim sebagai satu-satunya bentuk sah dari shalat, lengkap dengan aturan fiqih yang sering kali bersumber pada mazhab tertentu dan tidak langsung dari Al-Qur’an.

Padahal, jika kita berpegang pada QS 24:41, maka semua makhluk — termasuk manusia — sudah mengetahui shalatnya. Artinya, ada fitrah shalat yang telah ditanamkan oleh Allah. Maka tugas manusia bukan “menciptakan” shalat, tetapi menyadari, menggali, dan memurnikan apa yang telah ada dalam dirinya.

Mengajarkan shalat melalui kitab, jika tidak hati-hati, justru dapat mengaburkan pemahaman tentang hubungan batiniah dengan Allah. Shalat bisa tereduksi menjadi sekadar gerakan kosong tanpa kesadaran, karena yang diajarkan adalah bentuk, bukan ruh.

Perlukah Kitab Shalat? Dua Pendekatan

1 Pendekatan Tradisionalis: Kitab pelajaran shalat dianggap penting sebagai panduan bagi umat Islam untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad. Dalam pendekatan ini, bentuk shalat yang diajarkan adalah hasil dari kompilasi hadits-hadits dan fatwa ulama, yang dianggap sebagai bentuk konkret dari perintah Al-Qur’an untuk mendirikan shalat.

2. Pendekatan Quraniyah (Qur’an sentris): Dalam pendekatan ini, QS 24:41 dijadikan pijakan bahwa shalat adalah pengetahuan fitri yang telah ditanamkan oleh Allah. Maka, pengajaran shalat tidak memerlukan kitab yang mengikat bentuk, tetapi pembinaan kesadaran ruhani, ketulusan niat, dan penghayatan terhadap nilai-nilai ilahiah.

Muhammad Abduh berpendapat bahwa “shalat bukanlah konstruksi hukum semata, tapi sarana penyucian jiwa dan dialog batin dengan Tuhan”. Maka, membatasi shalat pada pola tertentu tanpa menumbuhkan kesadaran akan maknanya adalah pengerdilan terhadap makna ibadah itu sendiri.

Kembali ke Fitrah Ibadah

QS 24:41 menjadi titik tolak penting dalam meninjau kembali bagaimana kita memahami dan mengajarkan shalat. Jika seluruh makhluk telah mengetahui shalatnya, maka manusia pun pada dasarnya telah diberi pengetahuan bawaan oleh Allah tentang bagaimana ia harus tunduk dan berserah.

Maka, kitab pelajaran shalat dapat bermanfaat jika digunakan sebagai sarana bantu — bukan alat pengikat yang membatasi ekspresi ibadah. Yang utama adalah menyadarkan manusia akan fungsi shalat sebagai penghubung batin antara dirinya dan Allah, bukan sebagai rutinitas yang kehilangan makna.

Allah telah mengajarkan. Maka tugas kita bukan mengganti ajaran itu, tetapi menyadarinya (husni fahro)

Example 120x600