Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Menghidupkan Kembali Paradigma Partisipasi Menuju Indonesia Emas 2045

14
×

Menghidupkan Kembali Paradigma Partisipasi Menuju Indonesia Emas 2045

Share this article

Penulis : Lalu Pharmanegara| Editor: Asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan derasnya wacana pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045, ada satu hal penting yang nyaris terlupakan: paradigma partisipasi.

Padahal, dalam sejarah pembangunan bangsa ini, partisipasi rakyat pernah menjadi ruh dari seluruh proses perencanaan dan perubahan sosial. Kini, saat kita bicara masa depan, sudah saatnya paradigma ini dihidupkan kembali.

Mengapa Partisipasi Itu Penting?

Sejatinya, bangsa ini dibangun atas semangat gotong royong, musyawarah, dan peranserta rakyat. Pembangunan bukan sekadar produk teknokratis yang disusun di balik meja kantor, melainkan hasil interaksi antara negara dan warganya—yang saling mendengar, merancang, dan bergerak bersama.

Namun dalam praktik pembangunan beberapa dekade terakhir, partisipasi rakyat sering kali hanya menjadi pelengkap prosedur.

Musrenbang menjadi formalitas, konsultasi publik menjadi simbolik, dan suara masyarakat tak jarang dibungkam oleh kebijakan yang elitis dan teknokratis. Rakyat kehilangan peran sebagai subjek perubahan.

Padahal, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia Emas 2045, telah ditegaskan visi besar bangsa: terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan.

Keempat kata kunci itu—jika dicermati—menuntut satu syarat utama: keterlibatan aktif seluruh elemen bangsa.

Partisipasi dalam Visi dan Misi Indonesia 2045

pada visinya, empat misi besar pembangunan nasional juga mengandung semangat partisipatif yang kental:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
  2. Memajukan kesejahteraan umum,
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa,
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosia

Keempatnya tak mungkin dicapai tanpa partisipasi aktif rakyat. Perlindungan tidak bisa dilakukan tanpa keterlibatan warga dalam keamanan komunitas. Kesejahteraan tidak akan tercapai tanpa masyarakat yang diberdayakan secara ekonomi dan sosial.

Pendidikan tidak bermakna tanpa keikutsertaan keluarga dan komunitas dalam ekosistem belajar. Dan keadilan sosial hanya akan terwujud jika masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Inilah saatnya kita menyadari, bahwa partisipasi bukan aksesori pembangunan—melainkan pondasinya.

Peranserta Masyarakat: Wadah yang Perlu Dihidupkan Kembali

Dalam konteks ini, organisasi seperti Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) memiliki peran strategis yang tak tergantikan. PPM pernah menjadi pelopor dalam membangun paradigma pembangunan dari bawah (bottom-up).

Para kadernya tersebar hingga ke pelosok desa, memfasilitasi masyarakat dalam memetakan potensi, merumuskan kebutuhan, dan mengawal program pembangunan agar tepat sasaran.

Namun hari ini, nama PPM seakan tenggelam. Generasi muda tak banyak yang mengenalnya. Padahal, tantangan pembangunan justru semakin kompleks dan membutuhkan pendekatan yang lebih humanis dan partisipatif.

Menurut Mas  Lalu Khalid Tarmizi, MT—Ketua Presidium PPM NTB dan mantan Kepala Bappeda Lombok Timur—justru sekarang adalah momentum emas untuk menghidupkan kembali PPM dan nilai-nilai partisipatoris yang dibawanya.

“RPJPN Indonesia Emas 2045 adalah panggilan strategis bagi PPM dan seluruh pegiat pemberdayaan masyarakat untuk kembali ke medan juang,” ujarnya dalam sebuah sesi Partisipatory Academy yang digelar PPM Bekasi.

Membangun Generasi Baru Penggerak Partisipasi

Namun, menghidupkan kembali paradigma partisipasi tak cukup dengan semangat nostalgia. Diperlukan regenerasi kader, peningkatan kapasitas, dan inovasi metode.

PPM dan gerakan serupa perlu membuka diri, bersinergi dengan komunitas digital, akademisi muda, penggerak desa, hingga media sosial. Kita harus menjembatani nilai-nilai lama dengan bahasa zaman sekarang.

Partisipasi harus tampil sebagai pendekatan yang relevan, kontekstual, dan solutif dalam menjawab tantangan baru: ketimpangan digital, krisis iklim, urbanisasi, dan ketimpangan desa-kota. Generasi muda Indonesia harus diberi ruang untuk memimpin, bukan hanya mengikut.

Kesimpulan: Indonesia Emas Butuh Partisipasi Nyata

Tak ada Indonesia Emas tanpa rakyat yang dilibatkan. Tak ada pembangunan berkelanjutan tanpa dialog antara negara dan warganya. Dan tak ada masa depan yang adil tanpa proses yang adil pula.

Paradigma partisipasi bukan sekadar metode. Ia adalah cara pandang. Ia adalah kepercayaan bahwa rakyat bukan objek, melainkan subjek perubahan.

Kini, saat 2045 tinggal dua dekade lagi, mari kita hidupkan kembali semangat itu.Mari kita jadikan partisipasi sebagai napas utama pembangunan.

Mari kita bangun Indonesia bukan hanya untuk rakyat, tetapi bersama rakyat. (lalu pharmanegara)

 

Example 120x600