Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Empat Puluh Tahun dan Kesadaran yang Tertunda: Menjadi Muslim Seutuhnya

11
×

Empat Puluh Tahun dan Kesadaran yang Tertunda: Menjadi Muslim Seutuhnya

Share this article

Penulis; husni fahro| Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di suatu titik dalam perjalanan usia, manusia mulai mempertanyakan arah hidupnya. Ketika impian masa muda mulai meredup oleh kenyataan, ketika tenaga tak lagi setangguh dulu, dan ketika waktu terasa semakin cepat berlalu, muncullah kesadaran baru yang lebih dalam dan jujur: siapa aku, dari mana aku, dan akan ke mana aku?

Al-Qur’an secara halus tetapi tegas menandai usia empat puluh tahun sebagai titik balik kedewasaan sejati. Dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT menggambarkan seseorang yang telah mencapai usia ini sebagai pribadi yang mulai menyadari pentingnya syukur, amal saleh, dan pertobatan. Ayat itu menyatakan:

وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًاۗ حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ۝١٥

“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan.Hingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, agar aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimin).’” (QS Al-Ahqaf: 15)

Doa ini bukan sekadar pengakuan, melainkan pernyataan revolusi batin. Ia sadar bahwa perjalanan hidup tak sekadar pencapaian materi, tapi tentang mendekat kepada makna dan Sang Pemberi Makna.

Kedewasaan Bukan Sekadar Umur

Menurut Buya Hamka, kedewasaan seseorang tak cukup diukur dari angka usia, melainkan dari “kematangan akal dan kejernihan jiwa.” Usia empat puluh hanyalah simbol: jika seseorang belum sampai pada keinsafan sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an, maka ia belum benar-benar dewasa, betapapun tingginya pendidikan atau jabatannya.

Hal ini ditegaskan pula oleh Imam Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa kedewasaan rohani ditandai oleh tiga hal: kesediaan untuk belajar dari masa lalu, kepekaan terhadap tanggung jawab sosial, dan kesiapan untuk bertobat dan menyerahkan diri kepada Allah secara total.

Furqan antara Dewasa dan Belum Dewasa

Ayat ini sekaligus menjadi furqan (pembeda) antara kedewasaan sejati dan kedewasaan yang semu. Kedewasaan spiritual, menurut ayat tersebut, ditandai dengan lima indikator utama:

  1. Kesadaran untuk bersyukur, bukan sekadar dalam kata, tapi dalam bentuk amal nyata.
  2. Keinginan untuk berbuat kebaikan yang diridhai Allah, bukan yang populer atau menguntungkan secara duniawi.
  3. Kepedulian terhadap keturunan, yakni harapan agar nilai-nilai iman tetap hidup di generasi selanjutnya.
  4. Kejujuran dalam bertobat, bukan sekadar rasa bersalah, tapi tekad untuk berubah.
  5. Sikap pasrah dan berserah diri (muslim sejati), yang menyadari keterbatasan dirinya dan kebesaran Tuhannya. 

Tanpa indikator ini, seseorang belum sampai pada hakikat “menjadi Muslim seutuhnya”, sekalipun ia telah menjalani kehidupan keislaman secara lahiriah.

Kesadaran yang Sering Datang Saat Terlambat

Sayangnya, tidak semua manusia sampai kepada titik ini pada waktunya. Sebagian menunda kesadaran hingga waktu hampir habis. Al-Qur’an mengkritik manusia yang hanya mengingat Allah saat terdesak, namun kembali lalai setelah ujian berlalu. Dalam QS Yunus:12 disebutkan:

وَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْۢبِهٖٓ اَوْ قَاعِدًا اَوْ قَاۤىِٕمًاۚ فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهٗ مَرَّ كَاَنْ لَّمْ يَدْعُنَآ اِلٰى ضُرٍّ مَّسَّهٗۗ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۝١٢

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, ia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, ia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah ia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.” (QS Yunus: 12)

Inilah “kesadaran yang tertunda”, kesadaran yang hanya datang dalam krisis, bukan lahir dari refleksi dan cinta kepada kebenaran. Ia bukan kesadaran sejati, melainkan respons instingtif terhadap tekanan. Dan kesadaran seperti ini seringkali rapuh, mudah pudar saat suasana membaik.

Menjadi Muslim Seutuhnya

Menjadi muslim seutuhnya bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang integritas spiritual—kesatuan antara pikiran, hati, dan tindakan dalam kesadaran kepada Allah. Seorang Muslim sejati adalah yang menemukan Tuhan bukan hanya dalam doa, tetapi juga dalam kerja, dalam relasi sosial, dalam kepedulian terhadap anak cucu dan masa depan umat manusia.

Usia empat puluh hanyalah pengingat. Kesadaran bisa datang lebih awal, bisa juga lebih lambat. Yang terpenting adalah apakah kita sedang menuju ke sana—kepada titik di mana hidup bukan lagi soal diri sendiri, tapi soal siapa yang kita layani dan bagaimana kita kembali kepada-Nya.

Sebuah Ajakan Reflektif

Artikel ini mengajak kita untuk menilik ulang: apakah usia dan kedewasaan kita telah seiring dengan kesadaran spiritual yang digambarkan Al-Qur’an? Jika belum, belum terlambat untuk memulai. Karena menjadi dewasa bukanlah akhir perjalanan, tapi awal dari pengabdian yang sesungguhnya.

…اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ …. ۝١٣

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13)- (husni fahro)

Example 120x600