Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Arafah: Di Mana Tidak Ada Raja, Tidak Ada Rakyat, Hanya Hamba

5
×

Arafah: Di Mana Tidak Ada Raja, Tidak Ada Rakyat, Hanya Hamba

Share this article

Penulis : emha | Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah padang luas nan sunyi itu, jutaan manusia berdiri bersisian. Tidak ada mahkota di kepala raja, tidak ada lambang pangkat di dada jenderal, tidak pula jas kebesaran seorang menteri.

Semua hanya berbalut dua helai kain putih tak berjahit. Tak ada sepatu mewah, tak ada penanda status sosial. Di Arafah, yang tersisa hanya satu identitas: hamba Allah.

Arafah adalah titik perjumpaan spiritual yang mengguncang kesadaran manusia tentang siapa dirinya.

Di tanah itu, hirarki dunia runtuh, dan yang tegak hanyalah kesetaraan di hadapan Sang Pencipta. Setiap orang—apapun jabatan, kekayaan, dan kedudukannya—berdiri dalam keadaan paling polos dan jujur, menghadap Tuhan yang Maha Tahu isi hati mereka.

Menghapus Lapisan Duniawi

Wukuf di Arafah adalah puncak ibadah haji. Dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ disebutkan:

 “Al-ḥajju ʿArafah” “Haji itu (intinya adalah) Arafah.” (HR. Tirmidzi)

Mengapa demikian? Karena di sinilah jiwa manusia mengalami perjalanan vertikal paling intens, menyentuh akar eksistensinya sebagai ‘abd—seorang hamba.

Semua atribut yang selama ini menempel pada diri: gelar, kasta sosial, prestasi dunia, ditanggalkan. Arafah adalah medan di mana manusia dipaksa melihat dirinya tanpa lapisan palsu.

وَعُرِضُوْا عَلٰى رَبِّكَ صَفًّاۗ لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍۖ ۢ بَلْ زَعَمْتُمْ اَلَّنْ نَّجْعَلَ لَكُمْ مَّوْعِدًا ۝٤٨

“Mereka (akan) dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah berfirman,) “Sungguh, kamu telah datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada pertama kali. Bahkan kamu menganggap bahwa Kami tidak akan menetapkan bagimu waktu (berbangkit untuk memenuhi) perjanjian .” (QS. Al-Kahfi: 48)

Ayat ini menggambarkan bagaimana kelak manusia dibangkitkan di hari akhir tanpa busana dunia, persis seperti saat wukuf di Arafah.

Maka, Arafah menjadi simulasi kiamat: tidak ada yang bisa dibanggakan, selain amal dan penghambaan sejati.

Kesetaraan Universal di Hadapan Tuhan

Tokoh pejuang hak asasi manusia, Malcolm X, yang memeluk Islam setelah menunaikan haji, menulis dengan takjub dalam suratnya:

“Di sini, di dunia Islam, saya telah menyaksikan semua ras, warna kulit, dari berbagai negara, beribadah kepada Tuhan yang satu. Dalam kesatuan, tanpa perbedaan.”

Arafah bukan hanya simbol kesetaraan, tapi bukti konkret persaudaraan universal. Tak ada VIP di Arafah. Semua manusia duduk di tanah yang sama, di bawah langit yang sama, memohon ampunan yang sama. Di sinilah makna firman Allah terasa nyata:

…اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ۝١٣

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Arafah dan Kesadaran Kehambaan

Kesadaran paling mendalam yang lahir dari Arafah adalah bahwa manusia tidak memiliki apa-apa. Bahkan hidup dan mati pun bukan miliknya.

Maka satu-satunya sikap yang pantas adalah tunduk dan pasrah sepenuhnya kepada Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦

 

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Arafah adalah panggung penyerahan itu. Di sana, ribuan doa dan air mata membasahi bumi. Tidak ada lagi “aku” yang sombong; yang tersisa hanya “kami” yang berharap ampunan.

Menghidupkan Spirit Arafah di Kehidupan Sehari-hari

Sayangnya, banyak yang selesai wukuf tapi tak pernah membawa pulang jiwa Arafah. Mereka kembali mengenakan jubah status dan ego, meninggalkan kesederhanaan dan kerendahan hati.

Padahal, pesan Arafah bukan hanya untuk hari itu saja. Ia adalah pelajaran hidup.

Seorang ulama besar, Sayyid Qutb, menulis:

“Islam datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah.”

Itulah jiwa Arafah. Sebuah pembebasan. Ketika kita tidak lagi takut kehilangan dunia, tidak lagi membanggakan dunia, dan hanya berlindung kepada Allah—maka kita telah menjadi hamba yang merdeka.

Kembali Sebagai Hamba

Jika ada satu hal yang ingin disampaikan Arafah kepada manusia, maka itu adalah: ingatlah siapa kamu sebenarnya.

Engkau hanyalah hamba yang datang dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tak ada yang layak disombongkan, kecuali ketaatan kepada Allah.

Maka siapapun kita—raja atau rakyat, pejabat atau petani—di hadapan-Nya kita semua sama. Dan semakin kita memahami itu, semakin dekat kita kepada hakikat kemanusiaan kita.

Karena pada akhirnya, yang kekal bukan jabatan, bukan harta, tapi penghambaan.(emha)

 

Example 120x600