ppmindonesia.com.Jakarta – Di antara lautan manusia yang berhimpun di Padang Arafah setiap musim haji, ada satu pencarian yang menyatukan semuanya: pencarian akan makna, arah, dan Tuhan.
Di tempat yang tandus itu, manusia dibiarkan tanpa perhiasan dunia—hanya diri, doa, dan harap. Maka Arafah bukan sekadar tempat, ia adalah cermin batin, ruang sunyi tempat manusia belajar mengenali siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
Tak heran bila dalam hikmah sufi disebut:
“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Ungkapan ini, meski bukan hadis shahih secara sanad, telah menjadi mutiara hikmah yang hidup dalam tradisi Islam. Ia mengandung makna mendalam: pengenalan terhadap Tuhan berawal dari pengenalan terhadap diri sendiri.
Arafah: Tempat Menyadari Siapa Kita Sebenarnya
Kata ‘Arafah berasal dari akar kata “‘arafa” yang berarti mengenal. Padang Arafah menjadi simbol kesadaran spiritual, tempat di mana manusia tidak lagi menyembunyikan kelemahan di balik gelar dan jabatan.
Di sana, semua manusia setara: raja atau rakyat, pejabat atau petani, semuanya hanya hamba Allah yang merunduk dengan pakaian ihram.
Dalam kondisi itu, manusia tak punya tempat bergantung selain Allah. Maka dari titik nol inilah kesadaran itu muncul: kita bukan siapa-siapa kecuali karena kasih sayang-Nya.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِۚ وَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ ١٥
“Hai manusia, kamu adalah orang-orang yang membutuhkan Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Kesadaran inilah yang menjadi awal dari ma‘rifatullah—pengenalan kepada Allah. Ketika manusia berhenti berpura-pura, ketika ia mengakui keterbatasannya, maka ia akan menemukan Allah yang selalu dekat.
Mengenal Diri: Jalan Menuju Kesucian Jiwa
Mengenal diri bukan sekadar mengetahui nama, silsilah, atau profesi. Ia adalah kesadaran eksistensial: untuk apa aku diciptakan, ke mana aku akan kembali, dan siapa yang selama ini mengatur hidupku. Arafah memberi ruang untuk merenungi pertanyaan-pertanyaan itu.
وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ ٢٠وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ ٢١
Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20–21)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa jalan menuju Allah adalah jalan ke dalam diri. Hati manusia adalah cermin tempat cahaya Tuhan bisa memantul, jika ia dibersihkan dari karat duniawi.
“Jika engkau ingin mengenal Allah, maka bersihkanlah cermin hatimu, karena Ia tidak akan terlihat di hati yang keruh.”—Imam Al-Ghazali
Maka wukuf di Arafah bukan hanya ritual fisik, tapi proses penyucian batin. Ia adalah tazkiyah al-nafs, penyucian dari kesombongan, iri, tamak, dan syirik halus yang mengotori jiwa.
Arafah: Simbol Pertemuan Cinta antara Hamba dan Tuhan
Dalam tradisi tasawuf, Arafah sering dipahami sebagai tempat pertemuan antara kasih sayang Tuhan dan harapan manusia. Dalam lautan doa, setiap orang menyerahkan seluruh keluhannya, seluruh dosanya, kepada Sang Pengampun.
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ ٥٣
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menggambarkan suasana Arafah sebagai “hari cinta dan pengampunan, saat Allah mendekat dan membanggakan hamba-hamba-Nya kepada para malaikat.
” Maka Arafah adalah hari kasih sayang, bukan sekadar penyesalan; hari kembali, bukan hanya hari tangisan.
Menuju Tuhan, Melalui Kejujuran Diri
Syaikh Ibn ‘Ajibah, dalam tafsir isyārī-nya, mengatakan bahwa:
“Perjalanan ruhani paling penting adalah perjalanan dari kebodohan menuju pengetahuan, dari kelalaian menuju kesadaran, dari diri menuju Tuhan.”
Dan perjalanan itu bermula di Arafah—saat manusia bersedia menanggalkan topeng dunia dan menghadap Allah sebagai dirinya yang sejati.
Arafah adalah tempat untuk jujur pada diri. Tanpa kejujuran itu, manusia akan terus tersesat dalam ilusi keberhasilan palsu. Tapi ketika ia mulai jujur, maka cahaya petunjuk akan menuntunnya.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَࣖ ٦٩
“Dan barang siapa yang berjuang (mencari kebenaran) untuk (mendekatkan diri kepada) Kami, maka sesungguhnya Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Membawa Arafah ke Dalam Hati
Bagi mereka yang belum mampu pergi haji, Arafah tetap bisa dihadirkan dalam hati. Sebab Arafah bukan sekadar geografis, tapi kondisi spiritual: keadaan sadar, mengenal diri, dan bertemu kembali dengan Tuhan.
Di tengah dunia yang sibuk dan penuh gangguan, kita semua membutuhkan Arafah: tempat menyendiri dalam keheningan batin, merenung dalam kejujuran, dan kembali kepada Allah dengan rendah hati.
Sebab siapa yang mengenal dirinya dengan benar, akan mengenal betapa besar kasih sayang Tuhannya.(acank)