ppmindonesia.com.Jakarta – Di banyak sudut masyarakat kita hari ini, agama sering tampak lebih sebagai pementasan simbolik ketimbang sebagai jalan pencarian makna dan kehadiran ilahi yang nyata.
Kita melihat orang-orang berpakaian khas, berbicara dengan kosakata religius, duduk dengan cara tertentu, dan menghindari lawan jenis bukan karena pemahaman spiritual yang mendalam, tetapi karena dorongan untuk melestarikan bentuk-bentuk luar yang diwarisi dari masa lalu.
Fenomena ini bisa disebut sebagai “agama nostalgia”—sebuah bentuk keberagamaan yang terjebak dalam kerinduan terhadap masa lalu dan kehilangan jiwanya di masa kini.
Agama nostalgia bukanlah bentuk keberagamaan yang lahir dari kesadaran eksistensial, melainkan ekspresi emosional atas citra romantik tentang masa silam yang dianggap suci.
Nilai-nilai agama direduksi menjadi serangkaian simbol, gaya hidup, atau “geng” sosial yang meneguhkan identitas kelompok.
Dalam bentuk ekstremnya, agama nostalgia menjadikan manusia lebih peduli dengan “penampilan beragama” ketimbang “menghidupkan iman” di tengah kehidupan yang terus berubah.
Padahal, Al-Qur’an secara eksplisit mengkritik keberagamaan yang hanya bersandar pada tradisi leluhur tanpa akal sehat dan kesadaran spiritual. Dalam QS Al-Baqarah ayat 170, Allah berfirman:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ١٧٠
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti (juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?”(QS. Al-Baqarah: 170)
Ayat ini menyoroti kecenderungan manusia untuk memelihara kebiasaan tanpa menyelami makna, tanpa mengevaluasi apakah warisan itu membawa kepada petunjuk atau malah menyesatkan.
Dalam konteks ini, agama nostalgia menjadi jebakan kolektif yang menggantikan pencarian ruhani dengan pengulangan simbolik.
Iman yang Hidup: Antara Pemikiran dan Perjalanan Jiwa
Iman dalam Islam bukanlah produk imitasi, melainkan hasil dari perenungan, perjuangan batin, dan keterhubungan langsung dengan Tuhan.
Dalam Al-Qur’an, iman selalu dikaitkan dengan ta‘aqqul (penggunaan akal), tadabbur (perenungan), dan yakin (kepastian batin). Tanpa itu, agama bisa menjadi kosong: hanya tampilan tanpa kehidupan.
Psikolog dan filsuf perkembangan kepribadian, Kazimierz Dąbrowski, dalam teorinya tentang “disintegrasi positif,” menyebut bahwa pertumbuhan jiwa memerlukan keberanian untuk melepaskan struktur psikologis yang kaku dan otomatis menuju bentuk kehidupan mental yang lebih tinggi—yang kreatif, reflektif, dan terkendali dari dalam.
Agama nostalgia menghalangi proses ini karena mendorong keterikatan pada bentuk, bukan transformasi makna.
Dalam kenyataannya, agama nostalgia sering kali menutup pintu diskusi. Membicarakan isi dan makna ayat Al-Qur’an dianggap “tidak pantas” kecuali jika disampaikan oleh otoritas tertentu. Padahal, Al-Qur’an diturunkan untuk direnungkan langsung oleh siapa pun yang mau berpikir. Allah berfirman:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ ٢٩
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (QS. Shad: 29)
Sayangnya, dalam komunitas yang menghidupi agama nostalgia, aktivitas berpikir seperti ini justru dihindari karena dianggap membahayakan “stabilitas tradisi.” Akibatnya, ruh agama sebagai jalan pembebasan dan pencerahan pribadi tergantikan oleh upaya menjaga harmoni simbolik.
Antara Keamanan Sosial dan Keberanian Spiritual
Mengapa orang lebih suka agama nostalgia? Karena ia menawarkan rasa aman. Orang bisa “tampak religius” tanpa harus menggugat dirinya sendiri.
Mereka bisa merasa bagian dari komunitas tanpa harus benar-benar mengalami transformasi batin. Namun keamanan semacam ini palsu. Ia membuat manusia tidak siap menghadapi realitas kompleks dan tantangan moral zaman modern.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin pernah mengingatkan:
“Ilmu yang tidak mengantarkan pada takut kepada Allah adalah hijab (penghalang), bukan petunjuk.”
Dengan kata lain, bentuk-bentuk religius bisa jadi justru menjadi penghalang jika tidak melahirkan kesadaran dan hubungan yang hidup dengan Tuhan.
Agama seharusnya menjadi kendaraan menuju pembebasan, bukan penjara dari masa lalu. Iman yang hidup adalah iman yang tumbuh—yang mengajak manusia untuk berpikir, merasa, dan bergerak berdasarkan kesadaran ilahiah, bukan sekadar kenyamanan budaya.
Sudah saatnya kita bertanya:
Apakah kita sedang hidup dalam iman, atau sekadar menjaga nostalgia? (emha)