Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Mengapa Shalat Tidak Mencegah Kemungkaran? Sebuah Renungan Qur’ani

6
×

Mengapa Shalat Tidak Mencegah Kemungkaran? Sebuah Renungan Qur’ani

Share this article

Penulis: husni fahro| Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta- Di tengah masyarakat yang religius secara formal, pemandangan orang-orang yang rajin shalat namun tetap melakukan korupsi, menindas yang lemah, berkata kasar, atau mencela sesama, terasa sebagai ironi sosial yang mencolok. 

Di masjid ia tekun berdiri dan rukuk, namun di pasar atau kantor, ia bisa menipu, memeras, bahkan merendahkan orang lain.

Ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Mengapa shalat yang ditegakkan tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar? Bukankah Allah telah berfirman:

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ۝٤٥

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Tetapi mengingat Allah (dzikrullah) adalah lebih besar (keutamaannya). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-‘Ankabut 29:45)

Apakah ayat ini keliru? Tentu tidak. Maka masalahnya bukan pada shalat, tetapi pada bagaimana kita menegakkan shalat itu.

Shalat Sebagai Peringatan dan Kesadaran

Shalat dalam Al-Qur’an bukanlah sekadar gerakan tubuh atau bacaan lisan. Ia adalah az-zikr, pengingat yang konstan terhadap kehadiran Allah dalam hidup:

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ ۝١٤

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS Thaha 20:14)

Maka, shalat sejati adalah yang menumbuhkan kesadaran terus-menerus akan kehadiran Allah, yang dengan kesadaran itu seseorang tidak akan tega berbuat zalim, menipu, atau merusak.

Jika seseorang tetap bergelimang dalam kemungkaran meskipun ia shalat, maka patut dipertanyakan:

Apakah shalatnya benar-benar menghadirkan Allah dalam dirinya? Ataukah ia hanya menggugurkan kewajiban secara fisik tanpa menyentuh hati dan akalnya?

Kritik Qur’ani terhadap Shalat yang Kosong Makna

Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan tentang bentuk-bentuk shalat yang tidak membuahkan akhlak:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ۝٤الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ۝٥الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ۝٦وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَࣖ ۝٧

“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberikan bantuan (kepada yang membutuhkan).” (QS Al-Ma’un 107:4–7)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak semua orang yang shalat mendapat pujian. Bahkan, ada yang diancam dengan kecelakaan (wail) karena mereka lalai (bukan lalai dari menunaikannya, tetapi lalai dari tujuan dan maknanya), berbuat riya (pamer keagamaan), dan tidak memiliki kepekaan sosial.

Mengapa Shalat Gagal Mencegah Kemungkaran?

  1. Karena Tidak Menghadirkan Kesadaran

Banyak orang shalat, tapi hanya sebagai rutinitas. Bacaan tidak dipahami, gerakan dilakukan otomatis. Tanpa pemahaman dan kesadaran, shalat kehilangan fungsi utamanya sebagai pengingat (zikr).

  1. Karena Tidak Tersambung dengan Perilaku Sosial

Shalat yang sah secara syariat belum tentu sah secara ruhani. Ketika shalat tidak mengalir dalam perilaku, dalam transaksi, dalam relasi, maka ia menjadi sekat antara ibadah dan kehidupan. Padahal dalam QS 70:23–25 Allah menyebut orang yang “selalu dalam shalatnya” adalah mereka yang juga menunaikan hak orang miskin dan tidak meminta-minta.

  1. Karena Ibadah Dipisahkan dari Nilai-Nilai Kemanusiaan

Dalam tradisi Qur’ani, ibadah dan keadilan sosial adalah dua sisi dari satu mata uang. Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya mengajarkan shalat, tapi juga membebaskan budak, melindungi yatim, dan menegakkan keadilan. Maka, ibadah yang tidak bersentuhan dengan penderitaan manusia adalah bentuk alienasi spiritual.

Menuju Shalat yang Membebaskan

Shalat yang benar akan memancarkan cahaya perubahan. Sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Baqarah:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ ۝٤٣

 “Wahai Bani Israil, … dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS Al-Baqarah 2:43)

Tiga pesan dalam ayat ini—shalat, zakat, dan kebersamaan sosial—menunjukkan bahwa shalat bukan ibadah egoistik, tetapi kolektif dan transformatif.

Menurut Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam modern,

“Shalat yang ditekankan oleh Qur’an bukan hanya aktivitas liturgis, tetapi disiplin moral yang menjadikan manusia sadar akan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat.”

Mari Koreksi Shalat Kita

Pertanyaan “mengapa shalat tidak mencegah kemungkaran?” seharusnya kita arahkan ke dalam diri masing-masing.

Karena shalat yang hanya berupa rutinitas, tanpa penghayatan, tanpa koneksi sosial, dan tanpa kesadaran, memang tidak akan mengubah apa pun.

Tetapi jika shalat ditegakkan sebagai dzikir yang hidup, sebagai komitmen etis, dan sebagai penjaga moral dalam kehidupan sehari-hari, maka ia akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam melawan kezaliman, menebar keadilan, dan menciptakan kedamaian.

Sebagaimana disebutkan dalam QS Al A‘la (87:14–15):

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ ۝١٤وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ ۝١٥

 “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (tazakka), dan menyebut nama Tuhannya, lalu dia shalat.”

Shalat yang sejati bukan sekadar ritual, tapi cara hidup. Dan hanya dengan shalat yang seperti inilah, kemungkaran bisa dicegah—bukan hanya dari diri sendiri, tapi dari masyarakat secara keseluruhan. (husni fahro)

Example 120x600