Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Agama sebagai Gaya Hidup Nostalgik: Penghambat Pertumbuhan Spiritual

4
×

Agama sebagai Gaya Hidup Nostalgik: Penghambat Pertumbuhan Spiritual

Share this article

Penulis : emha | Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah kemajuan teknologi dan transformasi sosial yang cepat, tak sedikit individu yang mencari “pegangan” melalui agama. 

Namun, alih-alih menjadi jalan pencarian makna dan pertumbuhan ruhani, agama kerap direduksi menjadi gaya hidup bernuansa nostalgia. Tampilan luar dijadikan tolok ukur ketakwaan, sementara dimensi batiniah—yang justru menjadi inti iman—dikesampingkan.

Kita menyaksikan bagaimana simbol-simbol religius seperti busana khas, gaya bicara Arabisasi, hingga ritual tertentu menjadi identitas utama sebagian kelompok. 

Mereka membangun dunia miniatur yang mereplika masa lalu, seolah zaman kenabian bisa dihidupkan ulang secara visual dan sosial. 

Namun, benarkah pengulangan tradisi ini mencerminkan kedekatan dengan Tuhan? Atau justru menjauhkan manusia dari pertumbuhan spiritual yang sejati?

Agama dan Imajinasi Masa Lalu

Penghayatan keagamaan yang terjebak dalam romantisme sejarah bukanlah fenomena baru. Dalam Al-Qur’an, Allah mengecam sikap kaum terdahulu yang menjadikan warisan nenek moyang sebagai tolok ukur kebenaran, tanpa berpikir kritis:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ 

….وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ۝١٧٠

….Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)

Ayat ini tidak sekadar mengkritik konservatisme buta, melainkan juga menunjukkan bahwa stagnasi spiritual terjadi ketika iman tidak dibarengi refleksi, tetapi hanya peniruan emosional terhadap masa lalu. 

Agama, dalam konteks ini, kehilangan kekuatannya sebagai wahyu hidup dan berubah menjadi simbol budaya statis.

Kultus Tradisi vs Dinamika Kesadaran

Ali Shariati, seorang pemikir Islam progresif dari Iran, menyebut fenomena ini sebagai “taqlid sejarah” atau pemujaan terhadap bentuk, bukan esensi. Dalam bukunya Religion vs Religion, ia menulis:

“Banyak orang memeluk agama tidak karena memahami pesan transformatifnya, tapi karena ingin menjadi bagian dari romansa masa lalu.”

Shariati melihat bahwa agama, jika tidak ditopang oleh kesadaran kritis, akan kehilangan daya ubahnya.

Ia hanya jadi pelipur lara emosional dan simbol identitas kelompok—tanpa mendorong kedewasaan spiritual dan perbaikan sosial.

Senada dengan itu, psikolog dan filsuf Polandia Kazimierz Dąbrowski, dalam teorinya tentang “disintegrasi positif”, menyebut bahwa pertumbuhan kepribadian sejati muncul ketika seseorang mampu melampaui struktur lama yang kaku dan membentuk kesadaran baru secara mandiri. 

Dalam konteks agama, ini berarti seseorang harus mengalami “krisis batin”, berpikir ulang, dan menggali makna iman yang lebih dalam—bukan sekadar mengulang gaya hidup masa silam.

Al-Qur’an Menuntun pada Kesadaran, Bukan Peniruan

Islam sebagai agama fitrah tidak dimaksudkan untuk membekukan manusia dalam satu bentuk ekspresi tertentu. Justru, Al-Qur’an menekankan proses berpikir, refleksi, dan pembelajaran. Dalam QS Az-Zumar ayat 9, Allah berfirman:

…قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِࣖ ۝٩

 “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.” (QS. Az-Zumar: 9)

Ayat ini menegaskan bahwa keberagamaan harus dibangun atas dasar ilmu, kesadaran, dan kecerdasan spiritual. Bukan pada atribut atau simbol yang dipuja secara sentimental.

Sayangnya, dalam banyak komunitas, orang yang mempertanyakan simbol atau menggugat bentuk-bentuk religius yang tak relevan dengan zaman sering kali dicap “tidak sopan” atau “tidak taat.”

Diskusi kritis tentang ayat-ayat Al-Qur’an, atau ajakan untuk merefleksi iman secara mendalam, kerap dianggap tabu. Padahal, refleksi itulah inti spiritualitas.

Spiritualitas yang Tumbuh: Iman yang Hidup

Agama seharusnya mendorong manusia untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa, berempati, dan penuh makna. Bukan sekadar menjadikan masa lalu sebagai model permanen. Imam Muhammad Abduh pernah berkata:

“Islam adalah agama untuk semua zaman. Jika ia tidak menjawab persoalan zaman, yang salah bukan Islamnya, tapi cara kita memahaminya.”

Pernyataan ini mengajak kita untuk keluar dari jerat nostalgia religius dan masuk ke dalam ruang spiritual yang hidup. Ruang di mana iman menjadi kekuatan untuk berubah, bukan untuk bertahan dalam cangkang sejarah.

Kembali pada Hakikat

Menghidupkan agama bukan berarti meniru masa lalu secara visual dan emosional. Itu artinya menyelami nilai-nilai abadi yang terkandung di dalam wahyu dan mengaktualisasikannya sesuai tantangan zaman. 

Jika tidak, agama akan menjadi gaya hidup nostalgia—indah dari luar, tapi hampa dari dalam.

Dalam dunia yang terus bergerak, kita butuh agama yang hidup. Agama yang mampu memerdekakan jiwa dari stagnasi simbol, dan membawa manusia ke tingkat kesadaran Ilahiah yang otentik. 

Karena sejatinya, pertumbuhan spiritual tidak lahir dari peniruan, tetapi dari kesadaran yang jujur dan pencarian yang tulus.(emha)

 

Example 120x600