ppmindonesia.com.Jakarta– Dalam dinamika kehidupan sosial yang kompleks, seringkali ibadah dipandang sebagai urusan privat antara hamba dan Tuhannya. Namun, Al-Qur’an hadir dengan pendekatan yang jauh lebih luas dan menyeluruh.
Ia tidak hanya memandang ibadah sebagai sarana spiritual, tetapi juga sebagai instrumen pembersih sosial, penyeimbang keadilan, dan penyebar kedamaian. Salah satu ayat yang memperkuat pandangan ini adalah QS At-Taubah 9:103:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS 9:103)
Ayat ini sering dijadikan dasar hukum zakat, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia juga menyimpan pesan spiritual dan sosial yang sangat relevan dengan makna shalat sebagai sumber kedamaian, bukan sekadar gerakan atau ritual.
Shalat dan Zakat: Dua Pilar Pembersih Sosial
Zakat dan shalat kerap disebutkan bersama dalam banyak ayat Qur’an, menandakan hubungan erat keduanya.
Bila zakat membersihkan harta dan melatih empati sosial, maka shalat membersihkan jiwa dan memperhalus batin, menjadikan seseorang sadar akan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Namun dalam QS 9:103, menarik bahwa setelah zakat ditunaikan, Nabi diperintahkan mendoakan mereka. Dan Allah menegaskan:
“Sesungguhnya doamu itu adalah sakinah (ketenteraman, kedamaian) bagi mereka.”
Dalam konteks ini, doa atau shalat Nabi—yang berasal dari hati penuh kasih—menjadi penyalur kedamaian. Artinya, shalat bukan sekadar ibadah vertikal, tetapi juga menghadirkan efek horizontal: menciptakan ketenangan, memperkuat solidaritas, dan mengobati luka sosial.
Makna Kedamaian dalam Shalat: Perspektif Qur’ani
Ketika shalat dilakukan dengan kesadaran yang utuh—sebagai bentuk dzikir, kesungguhan, dan kehadiran hati—maka ia menghasilkan transformasi nyata. Allah berfirman:
…اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ…
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al-‘Ankabut 29:45)
Ayat ini menekankan fungsi sosial dari shalat. Ia bukan sekadar penghubung antara manusia dan Tuhan, tapi juga penjaga etika sosial, penolak keburukan, dan penegak moralitas.
Maka dalam pengertian ini, shalat yang benar akan menghasilkan kedamaian bukan hanya untuk pelakunya, tetapi bagi seluruh komunitas.
Ketika Nabi Mendoakan Umatnya: Kedamaian yang Menular
Dalam QS 9:103, Nabi Muhammad ﷺ diberi perintah untuk berdoa bagi mereka yang menunaikan zakat, dan dikatakan bahwa doa itu membawa sakinah bagi mereka.
Ini menunjukkan betapa pentingnya figur sentral dalam masyarakat (Nabi atau pemimpin yang saleh) untuk menjadi sumber kedamaian, melalui laku ibadah yang penuh makna.
Menurut Tafsir Al-Maraghi, makna doa Nabi dalam ayat ini bukan hanya doa lisan, tapi juga refleksi dari kasih sayang dan perhatian sosial beliau terhadap umatnya. Inilah yang membuat doa tersebut menjadi “sakinah” atau kedamaian.
Shalat dalam Konteks Sosial: Menjadi Sumber Penyembuh Luka Kolektif
Dalam masyarakat modern yang dilanda kecemasan, ketimpangan, dan polarisasi, shalat harus dikembalikan kepada ruhnya: sebagai pembawa kedamaian.
Bayangkan bila para pelaku shalat tidak hanya khusyuk di masjid, tetapi juga aktif menghapus kemiskinan, melawan kezaliman, menyuarakan keadilan, dan menebar kasih dalam masyarakat. Shalat seperti ini akan menjadi shifa’—penyembuh batin dan sosial.
Pesan untuk Kita Hari Ini
Ketika shalat benar-benar ditegakkan—dalam makna yang utuh dan sadar—maka ia akan menjelma menjadi:
- Sumber kedamaian batin (sakinah),
- Penolak kezaliman,
- Penguat solidaritas,
- Dan cahaya bagi komunitas.
Dalam masyarakat yang saling mencurigai, saling menyakiti, dan tercerai oleh egoisme, shalat yang benar akan mempersatukan, memaafkan, dan menyembuhkan.
Menjadi Orang yang Shalat dan Membawa Kedamaian
QS 9:103 memberi kita pelajaran penting: bahwa ibadah harus berdampak pada orang lain. Bahwa shalat—yang sejatinya adalah bentuk doa dan perjumpaan dengan Allah—dapat menumbuhkan sakinah dalam lingkup sosial, bila dilakukan dengan kesadaran dan cinta.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”(HR. Ahmad, ath-Thabrani)
Shalat bukan hanya soal mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga tentang menjadi manusia yang menghadirkan Allah dalam kedamaian, empati, dan kasih terhadap sesama.(husni fahro)