ppmindonesia.com.Jakarta – Setiap musim panen, harga cabai, beras, atau bawang selalu jadi topik nasional. Masyarakat mengeluh harga melonjak. Pemerintah buru-buru impor.
Lalu, petani kembali jadi korban. Mereka dituntut menghasilkan pangan murah, cepat, dan banyak—namun tak ada jaminan harga jual, insentif, atau jaminan hidup layak.
Di tengah tuntutan ketahanan pangan, nasib petani justru seperti tertinggal di ujung urusan.
Pertanyaannya: bisa kah kita terus berharap pangan murah tanpa memastikan petani tetap hidup dan bertahan?
Data yang Tak Bisa Dielak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian menyusut dari 31,7 juta (2013) menjadi 29,3 juta (2023).
Dalam sepuluh tahun, Indonesia kehilangan sekitar 2,3 juta petani. Lebih mencemaskan lagi, 61,8% petani kita kini berusia di atas 45 tahun. Generasi Z, yang mestinya jadi tulang punggung regenerasi, hanya 2,14% dari total petani aktif.
Ironisnya, di tengah kepunahan ini, tuntutan pada petani justru semakin tinggi: pangan harus tersedia, murah, dan stabil. Tapi dengan siapa kita memenuhi kebutuhan itu jika petaninya satu per satu menghilang?
Paradoks Pangan Murah
Ekonom pertanian dari IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa, mengingatkan bahwa obsesi terhadap harga pangan murah bisa berdampak destruktif.
“Harga pangan murah tidak selalu berarti keberpihakan kepada rakyat. Jika itu membuat petani rugi, maka kita sedang menggali lubang kemiskinan lebih dalam,” tegasnya.
Kita lupa, harga yang “murah” di pasar seringkali adalah hasil dari tekanan terhadap petani—dari ongkos produksi yang mahal, akses pasar yang tidak adil, hingga permainan tengkulak dan importasi dadakan. Petani tidak pernah punya posisi tawar yang kuat.
Impor Sebagai Solusi Instan
Setiap gejolak harga pangan selalu direspons dengan kebijakan impor. Padahal, ini seperti menambal ban bocor dengan selotip. Impor mungkin menurunkan harga jangka pendek, tetapi merusak ekosistem produksi dalam negeri.
Petani yang sudah susah payah menanam, akhirnya terpuruk karena harga jatuh di saat panen raya.
“Ketergantungan terhadap impor adalah bentuk keengganan kita membenahi masalah dari akarnya,” ujar Khudori, pengamat kebijakan pangan dan agraria. Ia menegaskan pentingnya menata ulang sistem pangan nasional agar adil bagi produsen—yakni para petani kecil.
Solusi: Keadilan bagi Produsen
Jika Indonesia serius ingin menjaga ketahanan pangan, maka yang perlu dijaga bukan semata harga, tetapi keberlanjutan ekosistem produksinya. Artinya, petani harus ditempatkan sebagai subjek utama dalam rantai pangan. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:
1. Harga dasar yang adil: Pemerintah perlu memastikan adanya harga pembelian minimal yang melindungi petani dari fluktuasi pasar.
2. Subsidi input tepat sasaran: Bantuan pupuk, benih, dan alat pertanian harus berbasis data aktual dan didistribusikan secara transparan.
3.Jaminan pascapanen: Akses ke koperasi, gudang, dan pengolahan hasil akan memberi nilai tambah dan ruang pernapasan ekonomi bagi petani.
4. Reformasi sistem distribusi pangan: Mengurangi dominasi tengkulak dan memperkuat akses langsung petani ke pasar.
Sudah Saatnya Berpikir Ulang
Selama ini, kita bicara ketahanan pangan dari sudut pandang konsumen. Padahal, kunci ketahanan itu ada di tangan produsen—para petani yang setiap hari berkeringat di sawah, ladang, dan kebun.
Jika mereka tak diberi ruang tumbuh dan hidup layak, kita hanya menunda krisis yang lebih besar: ketergantungan pada impor dan kelangkaan pangan.
Maka, jika kita masih ingin makan beras dari sawah sendiri, menikmati cabai segar dari petani lokal, dan tidak tergantung pada kapal kontainer dari negara lain, pertanyaannya bukan lagi soal berapa harga pangan hari ini.
Pertanyaannya: masih adakah petani yang mau menanamnya besok? (acank)