ppmindonesai.com.Jakarta – Di tengah kampus-kampus megah yang mencetak sarjana pertanian, peternakan, dan kehutanan, ada ironi yang makin mencolok: semakin banyak anak muda cerdas yang justru menjauh dari tanah. Mereka jago membuat proposal agribisnis, unggul dalam presentasi teknologi pangan, bahkan mampu menyusun model prediksi cuaca mikro dengan machine learning. Tapi ketika ditanya, “Mau jadi petani?”, mayoritas menjawab pelan, “Nanti saja kalau sudah tua…”
Kenapa bisa begitu?
Sekolah Tanah, Tapi Takut Kotor
Menurut data Kementerian Pertanian (2023), hanya sekitar 10% lulusan fakultas pertanian yang benar-benar berkarier di bidang pertanian pasca-lulus. Sisanya lebih memilih jalur korporasi, ASN, atau bahkan pindah ke sektor non-agraris seperti digital marketing dan perbankan.
Padahal, sebagian besar dari mereka dibesarkan di desa dan mengenal dunia bertani sejak kecil. Namun ketika tiba waktunya memilih jalan hidup, bertani dianggap sebagai opsi terakhir.
“Ini bukan soal kemalasan, tapi soal sistem nilai yang kita bangun,” kata Prof. Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB University. “Sejak kecil, kita dicekoki narasi bahwa sukses itu berarti kerja di kantor, pakai dasi, gaji besar. Sementara petani digambarkan miskin, kotor, dan tertinggal.”
Sistem Pendidikan yang Asal Cetak Gelar
Masalahnya bukan sekadar di pola pikir anak muda, tetapi juga pada desain sistem pendidikan. Sekolah kejuruan pertanian misalnya, banyak yang masih mengajarkan metode lama, minim praktik, dan tidak terhubung dengan realitas bisnis pertanian modern.
“Anak-anak belajar bercocok tanam, tapi tidak pernah diajari bagaimana menghitung harga pokok produksi, strategi pemasaran hasil panen, atau membangun branding produk organik,” ujar Ir. Budi Santosa, praktisi pelatihan pertanian berkelanjutan. “Jadi mereka lulus dengan pengetahuan, tapi tidak dengan kepercayaan diri untuk memulai.”
Orang Tua Pun Ikut Salah Arah
Keluarga sering menjadi penguat stigma. Banyak orang tua di desa berharap anaknya sekolah tinggi agar “tidak jadi petani seperti bapaknya.” Bertani dianggap pekerjaan berat, penuh risiko, dan tidak menjanjikan masa depan cerah.
“Ini bentuk kegagalan kolektif kita menghargai profesi yang justru menyelamatkan kita dari kelaparan,” kata Yulius Pamungkas, analis kebijakan dari Koalisi Kedaulatan Pangan. “Bayangkan jika semua anak desa enggan kembali bertani—siapa yang akan menanam padi 10 tahun lagi?”
Sistem Tanpa Akses dan Insentif
Bahkan bagi mereka yang tetap berani bertani, sistem tidak banyak membantu. Akses lahan sulit, kredit pertanian rumit, harga pasar tidak stabil, dan dukungan teknologi masih minim. Banyak petani muda akhirnya menyerah di tengah jalan karena tidak punya jaminan keamanan usaha.
“Bertani itu bukan hanya soal semangat, tapi soal ekosistem. Kita butuh keberpihakan nyata dari negara,” tegas Ajeng Prameswari, penggagas komunitas Petani Muda Keren di Jawa Barat. “Kalau anak muda diberi modal, pasar, dan pelatihan, saya yakin mereka bisa lebih hebat dari generasi sebelumnya.”
Saatnya Ubah Sistem, Bukan Salahkan Anak Muda
Daripada menyalahkan anak muda karena ogah turun ke sawah, kita perlu introspeksi. Mungkin yang salah bukan generasi mereka, tapi sistem kita yang membiarkan pertanian identik dengan kemiskinan dan kesengsaraan.
Kita perlu membangun narasi baru: bahwa bertani bisa menjadi pilihan profesional, modern, dan membanggakan. Bahwa mencintai tanah bukan kemunduran, tapi bentuk keberanian.
Dan bahwa anak muda yang cerdas seharusnya tidak takut tanah—asal kita ubah sistem yang selama ini membuat mereka menjauh.(acank)