ppmindonesia.com.Jakarta- Di tengah hingar-bingar dunia yang dipenuhi dengan pilihan, dosa, dan perlawanan terhadap aturan Tuhan, tumbuhan dan hewan tetap menjalani hidup mereka dalam keheningan, tanpa membangkang.
Mereka tumbuh, hidup, berkembang biak, dan mati sesuai fitrah yang ditetapkan oleh Allah. Tanpa debat. Tanpa ingkar. Maka, wajar jika muncul pertanyaan reflektif yang kerap diajukan anak-anak dan bahkan orang dewasa: Apakah hewan dan tumbuhan akan masuk surga?
Mereka Umat Seperti Kita
Pertanyaan ini tidak hanya bernilai teologis, tapi juga spiritual. Ia mencerminkan kasih sayang manusia terhadap ciptaan lain serta harapan akan keadilan dan rahmat Allah yang tak terbatas.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa hewan bukanlah makhluk remeh:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ…٣٨
“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi dan tidak ada (pula) seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat-umat (juga) seperti kamu…” (QS. Al-An’am: 38)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kesamaan eksistensial antara manusia dan hewan sebagai makhluk ciptaan Allah, yang masing-masing memiliki tatanan, kehidupan sosial, dan cara ibadah yang khas.
Dalam keheningan alam, tumbuhan dan hewan melakukan ‘ibadah’ mereka dengan konsisten. Pohon berdiri tegak mengikuti arah cahaya, burung bernyanyi memuji pagi, dan lebah bekerja mengatur sarangnya dengan teliti. Semuanya bergerak dalam harmoni yang tunduk kepada Rabb-nya.
Tidak Diuji, Tapi Tunduk Total
Islam menjelaskan bahwa manusia diberi amanah: kehendak bebas. Dalam QS Al-Ahzab ayat 72, Allah menyatakan:
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ ٧٢
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim dan sangat bodoh”
Tumbuhan dan hewan tidak memikul amanah ini. Mereka tidak dikenai beban taklif—tidak diperintahkan shalat atau puasa seperti manusia. Namun mereka menjalani hidup sepenuhnya dalam kepasrahan. Allah berfirman:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا ٤٤
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra: 44)
Ayat ini mempertegas bahwa mereka pun “menyembah”, dalam arti tunduk total kepada hukum Allah.
Dibangkitkan di Hari Kiamat?
Mengenai nasib hewan dan tumbuhan di akhirat, sebagian besar ulama berpendapat bahwa hewan akan dibangkitkan di hari kiamat. Namun tujuannya bukan untuk menerima pahala atau siksa seperti manusia, melainkan untuk menegakkan keadilan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh, segala hak akan dikembalikan kepada pemiliknya pada Hari Kiamat, hingga kambing tak bertanduk pun akan dibalas dari kambing yang bertanduk.” (HR. Muslim)
Imam Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah menjelaskan bahwa hewan akan dikumpulkan, diadili, lalu menjadi tanah kembali. Hal ini juga disebutkan dalam QS An-Naba’ ayat 40:
…وَيَقُوْلُ الْكٰفِرُ يٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرٰبًاࣖ ٤٠
“…dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.’”
Menurut banyak mufasir, ucapan itu muncul setelah orang kafir melihat hewan-hewan yang berubah menjadi tanah—berakhir tanpa siksa, tanpa pahala, tapi dengan keadilan sempurna dari Allah.
Surga untuk Hewan Kesayangan?
Lalu bagaimana dengan hewan kesayangan manusia? Apakah mungkin mereka hadir di surga sebagai bagian dari kebahagiaan?
Sebagian ulama dan ahli tafsir berpandangan bahwa Allah dapat menghidupkan kembali hewan-hewan tertentu di surga sebagai bagian dari kenikmatan yang diberikan kepada penghuni surga.
Bukankah Allah telah berfirman:
…وَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُۚ وَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ ٧١
“Dan di dalamnya terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata serta kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf: 71)
Imam Asy-Sya’rani menulis dalam kitabnya bahwa kasih sayang Allah tidak terbatas dan bisa saja melampaui batasan hukum-hukum manusiawi, termasuk dalam memberi kenikmatan surga kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Tumbuhan: Simbol Kesempurnaan dan Ketenangan
Tumbuhan pun disebut berulang kali dalam Al-Qur’an, terutama dalam menggambarkan suasana surga. Allah menggunakan pohon, buah, dan sungai sebagai lambang kedamaian dan kenikmatan abadi.
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi tumbuhan adalah bagian dari kesempurnaan ciptaan dan nikmat Allah.
Surga digambarkan penuh dengan kebun-kebun yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, pohon bidara, pohon pisang, anggur, delima—semuanya hadir sebagai bentuk limpahan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman (QS. Al-Waqi’ah: 27–33, QS. Ar-Rahman: 68).
Pelajaran dari Alam: Tunduk Tanpa Membangkang
Jika hewan dan tumbuhan tidak masuk surga dalam pengertian menerima pahala dan balasan, bukan berarti mereka makhluk yang lebih rendah. Justru mereka adalah makhluk Allah yang tak pernah membangkang, tak pernah melakukan dosa, dan menjadi simbol kepatuhan murni.
Mereka tidak protes saat diciptakan tak sempurna. Tidak menuntut saat mati tertabrak atau ditebang. Mereka hidup sesuai garis yang digariskan-Nya. Inilah pelajaran penting bagi manusia: bahwa kesalehan bukan soal ibadah ritual semata, tapi soal kepatuhan terhadap kehendak Allah, sekecil dan seterbatas apapun posisi kita.
Kita yang punya akal, pilihan, dan kehendak bebas—sering kali justru membangkang dan melawan fitrah. Sementara pohon, angin, semut, dan kucing tetap diam dalam keikhlasan menjalankan peran mereka di alam.
Sebagai penutup, Apakah hewan dan tumbuhan masuk surga? Wallahu a‘lam. Namun mereka adalah makhluk yang tidak berdosa dan tidak melawan, yang hidup dalam simfoni ketaatan kepada Sang Pencipta.
Mereka mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi makhluk yang taat—bukan hanya dengan lidah, tapi dengan keberadaan yang sepenuhnya tunduk.
Mereka adalah makhluk yang tak membangkang, pelajaran hidup dari alam yang seharusnya membuat manusia bertafakkur dan lebih bersyukur.
Sebagaimana kata ulama besar Hasan al-Bashri:
“Wahai anak Adam, sesungguhnya hewan-hewan itu lebih tunduk kepada Tuhan mereka daripada kebanyakan manusia yang mengaku beriman.” (emha)