ppmindonesia.com.Jakarta- Pagi itu, seorang siswa duduk di pojok ruang kelas. Tangannya memegang gawai, matanya tak berkedip menatap layar, sesekali tertawa kecil sambil menyapu jempol ke atas. Di sisi lain, sebuah buku tebal tergeletak di atas meja, tak tersentuh, seperti benda antik yang tak lagi menarik.
Fenomena ini bukanlah kejadian luar biasa. Inilah potret nyata generasi yang tumbuh di tengah gelombang teknologi dan arus informasi tanpa henti—generasi yang semakin jarang membuka buku, dan perlahan-lahan mulai “membisu” dalam urusan literasi.
Di era serba digital ini, di mana notifikasi datang lebih cepat dari bayangan, membaca sering dianggap lambat, membosankan, dan tidak relevan. Padahal, membaca bukan hanya soal mengeja huruf demi huruf, tetapi soal kemampuan memahami, menganalisis, dan merespon dunia.
Saat membaca mulai ditinggalkan, bukan hanya wawasan yang menyempit, tapi juga daya pikir yang ikut merosot.
Literasi kini sedang diuji, bukan oleh keterbatasan akses, tapi oleh perubahan budaya konsumsi informasi. Kita membaca lebih banyak, tapi secara dangkal. Kita tahu banyak hal, tapi sedikit yang benar-benar dipahami. Dunia daring menyediakan ribuan artikel, unggahan, dan konten setiap detik, tapi sedikit yang membuat kita berpikir lebih dalam.
Menurut Prof. Suyanto, Ed.D, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, tantangan literasi saat ini bukan semata pada kemampuan membaca teknis, tetapi pada kemampuan literasi kritis. “Kita menghadapi generasi yang bisa membaca teks, tapi belum tentu mampu membaca makna. Ini yang harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya dalam sebuah seminar literasi digital.
Sayangnya, arus teknologi sering kali membawa kita ke arah konsumsi informasi yang instan dan dangkal. Video berdurasi pendek lebih menarik daripada esai mendalam.
Caption singkat lebih diminati ketimbang paragraf panjang. Kita perlahan kehilangan kenikmatan membaca sebagai proses kontemplatif.
Namun, menyalahkan teknologi bukanlah solusi. Teknologi hanya alat; manusialah yang menentukan arah dan fungsinya. Di tangan yang bijak, teknologi justru bisa menjadi jembatan menuju literasi baru.
Buku digital, perpustakaan daring, podcast berbasis buku, hingga klub membaca virtual dapat menjadi media yang menjembatani dunia digital dan literasi.
Kita tidak bisa kembali ke masa ketika buku adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Tetapi kita bisa menciptakan masa depan di mana buku dan teknologi saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan.
Hal ini tentu memerlukan peran aktif dari berbagai pihak. Sekolah harus menciptakan ruang-ruang yang menghidupkan budaya membaca—bukan hanya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Keluarga perlu menghadirkan bacaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai tugas. Pemerintah dan pegiat literasi mesti lebih adaptif terhadap media baru, tanpa kehilangan ruh literasi yang sesungguhnya.
Kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi adalah arus informasi yang mengalir cepat, di sisi lain adalah kebutuhan mendesak untuk memperdalam pemahaman. Membaca atau membisu? Pertanyaan itu bukan sekadar retoris.
Ia menantang kita semua untuk memilih: apakah kita ingin menjadi masyarakat yang hanya terpapar informasi, atau masyarakat yang mampu membaca, memahami, dan menyuarakan kebenaran.
Karena pada akhirnya, bangsa yang tidak membaca akan mudah dibungkam. Dan di tengah gempuran teknologi yang terus berkembang, suara paling lantang justru lahir dari mereka yang mampu membaca dunia dengan penuh kesadaran.(emha)