ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam sejarah keagamaan umat Islam, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang dikutip secara parsial dan digunakan sebagai dalih pembenaran dominasi kelompok tertentu atas nama “otoritas keagamaan”.
Ayat-ayat yang sejatinya bersifat pedagogis, persuasif, dan rasional—diselewengkan maknanya menjadi alat kontrol sosial dan penundukan spiritual.
Di antara ayat yang sering digunakan sebagai dalih adalah QS An-Nahl [16]:43 dan Al-Anbiya [21]:7:
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ٤٣
“Fas’alu ahla adz-dzikri in kuntum la ta’lamun”
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ٧
“Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.
Frasa ini, dalam banyak mimbar dan ceramah, dijadikan senjata pamungkas untuk menolak dialog terbuka. Seolah-olah setiap bentuk kritik atau pertanyaan dari umat awam terhadap ajaran yang sudah “dibakukan” dianggap melecehkan ilmu dan melecehkan ulama. Tapi benarkah demikian?
Konteks Historis: Ahludz Dzikr Adalah Ahli Kitab, Bukan Ulama
Dalam tafsir klasik seperti karya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, makna ayat tersebut merujuk pada orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mengetahui kisah nabi-nabi terdahulu.
Ayat itu diturunkan untuk menjawab kaum musyrik Makkah yang mempertanyakan kerasulan Muhammad, karena mereka mengira bahwa utusan Tuhan haruslah malaikat, bukan manusia.
Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menyatakan:
“Ahludz dzikr adalah mereka yang memiliki kitab sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil. Ayat ini untuk menunjukkan bahwa para nabi terdahulu pun manusia biasa yang diberi wahyu.”
Jadi, bukanlah ulama dalam pengertian pasca-Nabi yang menjadi rujukan dalam ayat ini. Melainkan, ayat ini menganjurkan kepada kaum musyrik untuk melakukan verifikasi sejarah, bukan taqlid mutlak kepada elite agama.
Namun dalam praktik kontemporer, ayat ini sering disunat konteksnya, dan dijadikan tameng untuk mengatakan: “Kalau bukan ulama, jangan bicara soal agama!”
Padahal, Al-Qur’an sendiri sangat mendorong penggunaan akal dan berpikir sendiri, seperti ditegaskan dalam QS Al-Baqarah [2]:170:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ… ١٧٠
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab: Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami….”
Otoritas yang Diromantisasi
Fenomena pengkultusan terhadap “orang-orang yang dianggap alim” bukan hal baru. Bahkan, Al-Qur’an telah mengingatkan agar manusia tidak mengangkat rahib dan pendeta sebagai “tuhan-tuhan selain Allah.” (QS At-Taubah [9]:31).
Ini bukan sekadar penyembahan lahiriah, tetapi lebih dalam: ketundukan buta terhadap hukum dan fatwa mereka, tanpa menyaringnya dengan akal dan wahyu.
Dalam konteks modern, hal ini disuarakan dengan tajam oleh Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim asal Pakistan:
“Bahaya besar umat Islam saat ini bukan pada umat awam yang tidak tahu agama, tetapi pada kalangan ulama yang mengklaim otoritas absolut atas tafsir.”
Ia mengingatkan bahwa Islam bukanlah agama kasta, dan akses terhadap pemahaman Al-Qur’an bukanlah hak eksklusif segelintir orang yang mendapat gelar keagamaan.
Senada, Prof. Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya mengingatkan:
“Jangan harap bisa memahami agama jika Anda hanya menyerahkan semuanya pada satu kelompok. Al-Qur’an mengajarkan partisipasi semua umat dalam mencari kebenaran.”
Al-Qur’an: Milik Semua, Bukan Hanya Para ‘Ahli’
Salah satu karakter unik Al-Qur’an adalah seruannya yang langsung kepada manusia, bukan hanya kepada ulama atau elite. Bahkan perintah untuk merenungkan dan membaca ditujukan kepada semua:
“Afala tatafakkarun? Afala ta’qilun? Afala yatadabbarun al-Qur’an?”
“Tidakkah kalian berpikir? Tidakkah kalian menggunakan akal? Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an?” (QS Muhammad [47]:24, QS Al-Mu’minun [23]:80)
Jika Allah memerintahkan semua orang berpikir dan bertadabbur, maka pembatasan akses terhadap pemahaman agama hanya kepada ulama adalah bentuk kontradiksi terhadap semangat wahyu.
Al-Qur’an juga menegaskan prinsip tanggung jawab personal dalam beragama:
كُلُّ نَفْسٍ ۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ ٣٨
“Setiap jiwa bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-Muddatsir [74]:38)
Maka, ketika seorang Muslim hanya mengandalkan tafsir orang lain tanpa mengkritisi dan memverifikasi, ia sedang melalaikan amanah akal yang diberikan Tuhan.
Kembalikan Al-Qur’an ke Pangkuan Umat
Miskonsepsi tentang “bertanya kepada yang tahu” telah menjelma menjadi doktrin pembungkam nalar dan pemutus akses langsung umat kepada kitab sucinya sendiri. Padahal, wahyu turun bukan untuk membentuk kasta, melainkan untuk membebaskan.
Islam bukan agama yang membelenggu akal dan hanya milik kalangan terdidik formal. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, argumentasi, dan pertanggungjawaban langsung kepada Tuhan.
Seperti ditegaskan dalam QS Az-Zumar [39]:18:
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ ١٨
“(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
Kini saatnya kita membuka ruang tafsir yang sehat, menghargai kontribusi semua kalangan, dan tidak lagi menjadikan ayat-ayat Tuhan sebagai alat legitimasi kelompok tertentu.
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا ٢٤
“Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?”(QS Muhammad [47]:24) – (emha)