ppmindonesia.com.Jakarta – Indonesia gemah ripah loh jinawi, dikaruniai tanah subur, iklim tropis, dan keberagaman hayati yang menjadikannya salah satu negeri agraris terkaya di dunia.
Namun di balik limpahan sumber daya itu, nasib para petani justru berkebalikan. Mereka yang menanam, merawat, dan memanen hasil bumi, justru menjadi kelompok paling miskin dalam struktur sosial bangsa.
Kontras ini bukan sekadar statistik. Ia nyata dalam keseharian: rumah-rumah reyot di desa-desa penghasil beras, petani lansia yang masih membajak sawah dengan tenaga kerbau, dan generasi muda yang meninggalkan ladang demi bekerja sebagai buruh di kota.
Ironi Negeri Agraris
Sebagai negara dengan lebih dari 38 juta penduduk bekerja di sektor pertanian, peran petani sangat vital. Mereka menyumbang sekitar 12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menjadi garda depan dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Namun, data dari BPS (2024) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan masih dua kali lebih tinggi dibandingkan di kota.
Luas lahan yang dimiliki rata-rata petani pun kian menyusut. Sebagian besar hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare. Dalam kondisi ini, kata “usaha tani” menjadi ironi, karena tak mampu menghidupi keluarga, apalagi meningkatkan taraf hidup.
Sejarawan dan budayawan Betawi, JJ Rizal, pernah berujar: “Petani Indonesia tidak pernah dimuliakan oleh sistem kekuasaan. Mereka selalu menjadi korban, dari zaman kolonial sampai zaman digital.”
Sistem yang Tidak Berpihak
Kemiskinan petani bukan soal malas bekerja. Ia adalah buah dari sistem yang timpang dan tidak berpihak. Harga pupuk melonjak, biaya produksi terus naik, namun harga jual hasil panen seringkali jatuh di bawah biaya pokok produksi.
Petani menjual dalam kondisi terpaksa, saat panen raya datang dan pasar dikuasai tengkulak.
Ekonom pertanian, Prof. Bustanul Arifin, menyebutkan, “Yang dibutuhkan petani bukan sekadar bantuan tunai, tapi reformasi tata niaga, akses terhadap informasi pasar, teknologi tepat guna, dan kelembagaan ekonomi yang kuat seperti koperasi.”
Sayangnya, kelembagaan itu pun lemah. Koperasi petani sering hanya menjadi papan nama, tidak kompetitif menghadapi pasar modern.
Sementara proyek food estate atau korporatisasi pertanian yang digagas pemerintah, lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar, bukan petani kecil.
Generasi Muda Menjauh
Ketimpangan ini berdampak lebih dalam: lahirnya krisis regenerasi. Anak-anak petani enggan mengikuti jejak orang tuanya. Citra petani identik dengan kemiskinan, kerja keras tak kenal waktu, dan rendahnya penghargaan sosial.
Rata-rata usia petani Indonesia kini menyentuh 52 tahun. Ini alarm keras. Jika tak ada intervensi serius, dalam 10–15 tahun ke depan, Indonesia bisa mengalami kekurangan petani.
Sosiolog pertanian, Dr. Sekar Ayu Paramita, menyoroti: “Kita tak hanya kehilangan tenaga kerja pertanian, tapi juga pengetahuan lokal, kearifan ekologis, dan relasi sosial yang menjadi fondasi pertanian berkelanjutan.”
Perlu Transformasi Kebijakan
Mengentaskan kemiskinan petani tidak bisa dengan pendekatan karitatif. Diperlukan transformasi kebijakan secara menyeluruh: reforma agraria yang sejati, insentif bagi petani muda, transparansi distribusi pupuk, perlindungan harga komoditas, serta perlunya mendukung inovasi desa berbasis pertanian lokal.
Keberhasilan pertanian Jepang, Korea Selatan, dan Belanda, menunjukkan bahwa modernisasi pertanian tidak harus mengorbankan petani kecil.
Kuncinya adalah keberpihakan: pada petani sebagai pelaku utama, bukan pada korporasi sebagai aktor dominan.
Mengubah Narasi, Memulihkan Martabat
Sudah saatnya narasi tentang petani diubah. Dari yang sekadar objek bantuan menjadi subjek pembangunan. Dari penerima program menjadi pengambil kebijakan di desa mereka sendiri. Dari simbol kemiskinan menjadi sumber kebanggaan nasional.
Presiden Soekarno pernah berpesan, “Bangsa yang tidak mengurus petaninya, sama saja menanam benih kehancuran.” Pesan itu masih relevan hari ini.
Indonesia tak kekurangan tanah, matahari, air, atau benih. Yang kita butuhkan adalah kemauan politik dan keberanian moral untuk berpihak kepada mereka yang selama ini menumbuhkan kehidupan.(ecank)