Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

QS 21:7 Bukan Justifikasi Otoritas Ulama: Menyingkap Makna Sebenarnya

156
×

QS 21:7 Bukan Justifikasi Otoritas Ulama: Menyingkap Makna Sebenarnya

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta– Dalam diskursus keagamaan kontemporer, kerap terdengar pernyataan: “Kalau tidak tahu, tanyalah kepada ulama!” Pernyataan ini tampak bijak, bahkan seolah sakral, karena dikaitkan langsung dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Fas’alu ahla adz-dzikri in kuntum la ta’lamun” – 

….اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٧

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Anbiya [21]:7)

Namun, benarkah ayat ini merupakan perintah mutlak untuk tunduk kepada otoritas ulama dalam segala perkara agama? Apakah ayat ini adalah dalil utama untuk membatasi nalar umat agar hanya mengikuti tafsir dan fatwa pihak tertentu? Untuk menjawabnya, kita perlu menggali lebih dalam konteks dan tujuan turunnya ayat tersebut.

Konteks Sejarah dan Sasaran Ayat

QS Al-Anbiya ayat 7 berbunyi:

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٧

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (ahladz-dzikr), jika kamu tidak mengetahui.”

Ayat ini turun sebagai jawaban terhadap keberatan kaum musyrik Makkah, yang mempertanyakan kenapa Rasul adalah manusia biasa. Mereka membayangkan utusan Tuhan seharusnya malaikat atau makhluk luar biasa.

Maka Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan bahwa semua nabi sebelumnya juga manusia biasa, bukan makhluk langit. Dan bila orang-orang Quraisy tidak tahu hal ini, mereka dipersilakan bertanya kepada Ahludz-Dzikr, yakni kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memiliki pengetahuan tentang para nabi terdahulu melalui Taurat dan Injil.

Tafsir semacam ini didukung oleh para mufasir klasik seperti Ibnu Katsir, yang menulis:

“Ahludz-Dzikr di sini adalah Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil, yang mengetahui keterangan tentang para nabi terdahulu.” (Tafsir Ibn Katsir, QS Al-Anbiya:7)

Demikian pula Al-Qurthubi menjelaskan bahwa makna “adz-dzikr” adalah kitab-kitab wahyu sebelumnya, dan para pemiliknya adalah mereka yang diminta sebagai saksi sejarah atas keberadaan para rasul manusia.

Distorsi Makna: Dari Saksi Sejarah ke Otoritas Agama

Sayangnya, makna historis ini kemudian mengalami pergeseran. Frasa “fas’alu ahla adz-dzikr” berubah menjadi slogan legitimasi otoritas ulama, bahkan dijadikan tameng untuk menolak pertanyaan kritis dari umat awam.

Alih-alih mendorong umat Islam untuk menggali pengetahuan secara langsung dari Al-Qur’an dan sunnah, ayat ini digunakan untuk membenarkan taqlid buta dan menutup ruang ijtihad bagi selain mereka yang memiliki “gelar”.

Syekh Muhammad Abduh, pelopor reformasi Islam modern, mengingatkan bahayanya kecenderungan ini:

 “Agama menjadi beku bukan karena umat tidak punya akal, tapi karena akal mereka dibelenggu oleh segelintir orang yang mengaku pewaris kebenaran.”

Di era modern ini, semangat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad justru membuka partisipasi akal dan tanggung jawab pribadi atas keimanan. QS 17:36 menegaskan prinsip ini:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ۝٣٦

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati – semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”

Ulama: Fungsinya Menjelaskan, Bukan Menguasai

Islam tidak menolak keberadaan ulama. Justru, Islam menghargai ilmu dan mendorong umat untuk belajar dari orang-orang yang berilmu. Namun, yang keliru adalah menjadikan ulama sebagai satu-satunya pintu untuk memahami agama.

Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah menyatakan:

“Peran ulama adalah menjelaskan dan membimbing, bukan memonopoli kebenaran. Umat Islam diberi hak dan kewajiban untuk berpikir dan bertanya.”

Senada dengan itu, Maulana Wahiduddin Khan, seorang cendekiawan India, menulis:

“Al-Qur’an adalah kitab yang dibuka untuk semua. Ia tidak diturunkan untuk satu kelas intelektual tertentu, tetapi untuk umat manusia.”

Maka dalam semangat Al-Qur’an, hubungan umat dengan wahyu bersifat langsung dan personal. Justru, Al-Qur’an menyalahkan orang-orang yang mengikuti pendapat orang terdahulu tanpa berpikir:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ … ۝١٧٠

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’”(QS Al-Baqarah [2]:170)

QS 21:7: Ajakan Verifikasi, Bukan Titah Kepatuhan

Ketika ditilik dari konteksnya, QS 21:7 adalah ajakan untuk memverifikasi informasi sejarah, bukan dalil mutlak untuk membungkam nalar dan kritik. Ayat ini adalah bagian dari tradisi intelektual Islam yang menghargai bukti, penalaran, dan keterbukaan pikiran.

Dalam semangat itu, QS 39:18 bahkan memuji mereka yang mendengarkan berbagai pendapat lalu memilih yang terbaik:

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ ۝١٨

“(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”

Membuka Ruang Tafsir Bagi Semua

QS 21:7 bukanlah dalil untuk membatasi tafsir hanya pada elite agama. Ia bukan justifikasi otoritas, tetapi bukti bahwa kebenaran dapat diuji melalui pengetahuan terbuka. Islam, dengan Al-Qur’annya, tidak datang untuk membangun kasta, tetapi untuk membebaskan manusia dari dominasi otoritas selain Allah.

Sudah saatnya umat diberdayakan, bukan dibungkam. Sudah waktunya kita meletakkan otoritas keilmuan bukan pada gelar, tapi pada argumentasi dan kesetiaan pada kebenaran.

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا ۝٢٤

 “Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS Muhammad [47]:24)– (emha)

 

Example 120x600