Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

Antara Layar dan Lembar: Menakar Nasib Buku di Zaman Medsos

131
×

Antara Layar dan Lembar: Menakar Nasib Buku di Zaman Medsos

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya arus informasi digital, kita seakan hidup dalam dua dunia: dunia layar dan dunia lembar. Layar merujuk pada segala bentuk perangkat digital yang kini begitu akrab—ponsel pintar, tablet, komputer—yang menjadi pintu utama akses terhadap media sosial dan konten daring. 

Sementara lembar merujuk pada halaman-halaman buku cetak yang menyimpan pengetahuan, imajinasi, dan sejarah peradaban. Persoalannya kini adalah: apakah lembar masih memiliki tempat di tengah dominasi layar?

Media sosial telah mengubah cara manusia berkomunikasi, mencari informasi, bahkan mengekspresikan diri. Segalanya serba instan, cepat, visual, dan sering kali dangkal. 

Remaja dan anak-anak muda lebih akrab dengan notifikasi, emoji, dan algoritma yang menuntun apa yang mereka lihat setiap detik. 

Di sisi lain, buku—yang memerlukan perhatian, waktu, dan kesabaran—seolah menjadi barang yang ‘berat’, lambat, dan ketinggalan zaman.

Menurunnya Ketertarikan pada Buku Cetak

Survei Perpusnas RI pada tahun 2023 menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada di level yang mengkhawatirkan, meskipun konsumsi informasi digital justru meningkat tajam. 

Banyak perpustakaan sekolah sunyi tak berpengunjung, sementara layar ponsel terus menyala bahkan hingga larut malam.

Remaja lebih memilih membaca cuplikan-cuplikan pendek di Instagram, TikTok, atau X (Twitter), dibanding membuka buku tebal yang membutuhkan dedikasi. 

Kecenderungan ini turut memengaruhi kemampuan literasi mendalam, termasuk dalam memahami struktur argumen, menganalisis teks, serta membangun opini berdasarkan sumber bacaan yang utuh.

Antara Efisiensi dan Substansi

Tak bisa dipungkiri, teknologi memang menawarkan efisiensi. Informasi dapat diakses dalam hitungan detik, ringkasan buku bisa ditonton dalam bentuk video animasi, bahkan AI kini mampu meresumekan isi novel dalam satu paragraf. 

Namun di sinilah persoalan muncul: apakah kecepatan mengalahkan kedalaman?

Prof. Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim, dalam wawancaranya beberapa tahun silam, menyatakan bahwa “era digital menuntut kita lebih selektif, bukan hanya konsumtif. Kita harus tetap memelihara budaya membaca yang berkualitas.” 

Dalam konteks ini, membaca buku memberikan kedalaman berpikir yang tidak bisa digantikan oleh sekadar membaca caption atau menonton video berdurasi satu menit.

Buku dalam Wajah Baru

Meski buku cetak menghadapi tantangan, ia belum sepenuhnya kalah. Justru kini terjadi transformasi bentuk: buku hadir dalam versi digital, e-book, dan audiobook yang dapat diakses kapan saja. Beberapa komunitas literasi bahkan memanfaatkan media sosial untuk membangun klub baca daring, mengulas buku lewat konten kreatif, dan mengadakan tantangan membaca (reading challenge) dengan hadiah menarik.

Di sisi lain, tren kembali ke analog juga tumbuh. Toko buku independen, bazar buku murah, dan kegiatan membaca bersama kembali digalakkan oleh generasi muda yang mulai menyadari kelelahan digital. 

Buku kini bukan hanya sumber pengetahuan, tetapi juga bentuk relaksasi dari kebisingan virtual.

Mengapa Buku Masih Penting?

Buku tidak hanya berisi informasi, tetapi juga melatih ketekunan berpikir. Ia tidak menjejalkan jawaban, tapi menuntun pembaca menggali pertanyaan. 

Membaca buku melibatkan perenungan, imajinasi, dan proses internalisasi yang mendalam—hal yang sulit dilakukan saat pikiran terus terpecah oleh notifikasi dan scroll tanpa henti.

Lebih dari itu, buku adalah arsip peradaban. Ia menyimpan sejarah, nilai-nilai budaya, dan pemikiran para pemikir besar dunia. Dalam buku, manusia diajak untuk tidak sekadar tahu, tapi juga memahami.

Akhir Kata

Nasib buku memang sedang diuji di zaman media sosial. Tapi pertarungan ini bukan tentang siapa yang menang, melainkan bagaimana keduanya bisa saling melengkapi. Layar mungkin menawarkan kecepatan, tetapi lembar masih menjanjikan kedalaman. 

Di antara gawai yang terus menggoda dan buku yang menanti dibuka, generasi hari ini perlu diajak untuk tidak hanya cepat tahu, tapi juga mampu berpikir dan merasa lebih dalam.

Karena pada akhirnya, buku bukan sekadar benda yang dicetak, tapi ruang kontemplasi yang menyuburkan pikiran manusia.(emha)

Example 120x600