ppmindonesia.com.Jakarta – “Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.”
Kalimat ini terdengar familiar. Dalam Al-Qur’an, pernyataan semacam itu beberapa kali dikutip sebagai kritik tajam terhadap sikap taklid buta. Misalnya dalam QS Al-Baqarah ayat 170, Allah mengingatkan:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ… ١٧٠
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’…”
Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah kaum musyrik Makkah, melainkan cermin bagi setiap generasi yang memeluk agama sebagai tradisi, bukan sebagai pilihan sadar.
Tradisi: Pedang Bermata Dua
Dalam sejarah umat manusia, tradisi bisa menjadi pengikat sosial dan identitas kultural. Namun, dalam konteks agama, tradisi dapat pula menjelma menjadi benteng kebekuan, ketika ia dipertahankan tanpa kritik, meski bertentangan dengan pesan utama wahyu.
Islam—yang datang sebagai agama pembebasan dan pencerahan—menghadapi tantangan besar saat spiritnya ditenggelamkan oleh praktik-praktik yang bersumber bukan dari Al-Qur’an, melainkan dari kebiasaan sosial yang kemudian dianggap “Islamik” hanya karena sudah lama dilakukan.
Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim progresif, menyatakan:
“Salah satu ironi dalam sejarah umat Islam adalah ketika umat lebih setia pada tafsir masa lalu daripada pada Al-Qur’an itu sendiri.”
Tradisi sering kali mendapat stempel sakral hanya karena diwariskan ulama atau tokoh karismatik. Padahal, dalam banyak kasus, substansinya tak lagi sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang hidup dan kontekstual.
Islam: Agama Kritik, Bukan Dogma
Islam bukan sistem kepercayaan yang menolak pertanyaan. Ia justru mendorong pencarian makna dan kebenaran dengan akal sehat.
Al-Qur’an menyeru:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا ٨
“Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya ia bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS An-Nisa [4]:82)
Pertanyaan dalam ayat ini adalah panggilan untuk berpikir, bukan untuk menghafal. Islam datang untuk melatih kesadaran, bukan sekadar menjadikan manusia sebagai pengikut yang patuh tanpa tahu mengapa.
Sayangnya, budaya keilmuan dalam banyak komunitas Muslim digantikan oleh ritualisme, bahkan kultus terhadap figur dan mazhab tertentu. Yang tidak ikut dianggap sesat. Yang bertanya dianggap menghina.
Dalam konteks ini, Ali Shariati dengan tegas membedakan antara “Islam Muhammadi” dan “Islam tradisional ulama”:
“Islam Muhammadi adalah revolusi kesadaran. Sedangkan Islam ulama sering kali adalah sistem status quo yang memelihara kekuasaan dan dominasi.”
Melampaui Taklid, Menuju Tanggung Jawab Intelektual
Dekonstruksi tradisi bukan berarti menolak seluruh warisan. Tetapi ini adalah panggilan untuk memilah, menyaring, dan menyegarkan pemahaman agama agar tetap relevan dan otentik.
Dalam QS Al-Zumar ayat 18, Allah memuji mereka yang mendengarkan semua pendapat dan mengikuti yang terbaik:
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ ١٨
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar [39]:18)
Ayat ini menempatkan akal dan kebebasan berpikir dalam posisi terhormat. Islam bukan jalan pintas menuju kepatuhan tanpa penalaran, tetapi jalan panjang menuju iman yang dipilih dan diperjuangkan secara sadar.
Memperbarui Pemahaman, Bukan Mewarisi Kebekuan
Dari tata cara beribadah, tafsir ayat, hingga aturan sosial, banyak aspek Islam yang membutuhkan reformulasi dan pemaknaan ulang.
Mohammad Arkoun, pemikir Islam asal Aljazair, menyebut perlunya “rethinking Islam” atau pembacaan ulang Islam dalam terang zaman. Tanpa ini, agama akan selalu tertinggal, bahkan teralienasi dari kehidupan umatnya.
“Umat Islam tidak perlu mengganti Islamnya. Yang perlu diganti adalah cara memahami dan menghayati Islam itu.”
Islam bukan tentang simbol, bukan pula sekadar tradisi. Islam adalah jalan hidup yang aktif, kritis, dan progresif, yang membentuk manusia bertakwa melalui kesadaran, bukan karena tekanan budaya.
Islam Harus Hidup di Tiap Zaman
Dekonstruksi tradisi dalam Islam bukan proyek membongkar keyakinan, tetapi upaya menyucikan agama dari kerak sejarah dan debu kebiasaan yang menumpuk. Ini adalah ajakan untuk kembali ke semangat wahyu, bukan hanya pada bentuk luarnya.
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ٢
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.” (QS Yusuf [12]:2)
Jika Al-Qur’an diturunkan agar dimengerti, maka setiap Muslim memiliki hak dan kewajiban untuk memahami ajaran Islam secara sadar dan jernih. Jangan biarkan agama ini terkurung dalam tradisi, sementara pesan utamanya tertinggal jauh di belakang.
Mari kembali pada Islam yang hidup: Islam yang berpikir, bertanya, dan bergerak menuju keadilan dan kebaikan—bukan Islam yang sekadar dipraktikkan karena “sudah dari dulu begitu.” (acank)